Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama yang Memaksa, Agama yang Buruk

28 Mei 2018   16:58 Diperbarui: 28 Mei 2018   17:06 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Milik Pribadi

Yang namanya Kitab Suci itu memang terlalu tinggi untuk diimplementasikan seluruh perintah di dalamnya. Manusia yang memiliki kekurangan ini tak mungkin bisa benar-benar menjalankan perintah Tuhan secara sempurna. Dan kita kayaknya memang harus tahu diri soal itu.

Untuk saat ini, nampaknya perintah-perintah Tuhan itu harus diterapkan secara kontekstual dan tidak secara mentah dan bulat-bulat. Bukan berarti manusia saat ini tak bisa menerapkan apa yang diperintahkan Tuhan --walaupun tak secara utuh. Bisa sih bisa, tapi jangan dipaksakan kalau ke depannya mengakibatkan suatu keburukan; karena inilah konsekuensinya kalau kita menganggap perintah Tuhan sebagai keharusan yang memaksa. Kalau misalnya dalam surah An-Nisa dikatakan seorang suami boleh memukul istrinya, bukan berarti bapak-bapak sekarang mutlak harus dan boleh memukul istrinya. Dan kalau itu tak dilakukan, juga bukan berarti kita mengingkari perintah atau hukum Tuhan, kan?

Apalagi di zaman sekarang, kalau hal itu dilakukan bisa jadi kasus KDRT. Dan juga bukan berarti pembolehan memukul  istri (dalam Kitab Suci) itu tidak bisa diterima secara mutlak, karena kita juga harus paham bagaimana konstelasi zaman. Sedangkan kita pun tahu kalau kepantasan-kepantasan itu bisa diterima di zaman-zaman tertentu.

Agama memang berisi tentang perintah Tuhan. Sebagai penganut agama, saya jelas berpenilaian bahwa hukum Tuhan adalah yang terbaik dibandingkan hukum apapun. Saya sendiri bukannya tak ingin kalau hukum Tuhan diterapkan di negeri ini, misalnya. Tapi kalau hal itu tak diimplementasikan di negeri ini, bukan berarti saya mengingkarinya atau menolaknya secara mutlak.

Agama bukanlah paksaan, dan hukum-hukumnya pun sebenarnya juga bukan sesuatu yang dipaksakan penerapannya. Tuhan bukannya tak tahu kalau manusia pasti berhadapan dengan watak-watak zaman yang berbeda-beda. Sekarang, tinggal manusianya yang harus pintar dalam beragama supaya tidak terjebak dalam sikap konservatif atau kolot.

Saya pikir, agama pun bukannya ajaran yang membungkam dinamika pemikiran penganutnya. Karena yang namanya pikiran itu pasti terus mengalami perkembangan mengikuti kondisi zaman. Mustahil kalau agama melarang penganutnya untuk berpikir lebih maju, lebih bebas, bahkan sampai melampaui zaman.

Kalau hanya bersandar atau bergantung pada substansi-substansi tekstual Kitab Suci, itu sama saja artinya jalan di tempat. Peradaban terus berkembang --entah itu ke arah lebih baik atau sebaliknya. Dan makhluk yang bernama manusia ini berada di dalamnya, mengikuti dinamika zaman, mau tak mau. Tak mungkin kalau tak mengikuti perkembangan zaman.

Barangkali masih ada di pikiran banyak orang kalau agama bertentangan dengan perubahan zaman. Kayaknya orang-orang semacam ini hanya concern pada substansi-substansi agama dan bukan esensinya. Apalagi persoalan istilah-istilah atau term-term agama dan term-term sekuler pun masih dipermasalahkan, seakan-akan istilah yang tak ada pada agama tak bisa diterima karena dianggap tak ada nilai baiknya sama sekali. Dasar penolakannya karena istilah-istilah itu bukan berasal dari agama, melainkan dari pihak sana atau pihak asing.

Apa memang sesuatu yang asing itu sudah pasti tak baik dan tak akan pernah ada satu pun kebaikan di dalamnya cuma karena kita meyakini bahwa apa yang ada pada agama adalah yang paling best of the best dari segala-galanya? Padahal, kembali lagi, bahwa perintah-perintah agama haruslah disesuaikan dengan keadaan zaman. Perintah Tuhan adalah yang terbaik? Ya, itu yang terbaik.

Tapi kalau hanya diterapkan secara mentah, lalu kemudian berbenturan dengan watak zaman, tidak sesuai atau ikompatibel, akibatnya perintah Tuhan tadi malah terkesan bukan yang terbaik. Kayaknya kita harus pahami kalau yang membuat perintah Tuhan menjadi yang terbaik itu adalah manusianya, penganutnya, karena tugas manusia-lah untuk melakukan itu lantaran dia jugalah pelaku zaman dimana dia pula-lah yang tahu bagaimana agama bisa diterapkan sebaik-baiknya. Maksudnya, ya tidak kontradiktif dan menimbulkan kesan buruk di mata orang lain.

Kalau agama adalah paksaan, dimana penganutnya harus menerapkan perintah agamanya secara mesti tanpa toleransi sedikitpun, sudah pasti agama tersebut akan terkesan jelek, buruk di mata umat beragama lain. Dan itu juga berarti agama semacam tadi tak sesuai dengan kodrat manusia yang memiliki kebebasan. Tidak mungkin agama hendak meniadakan kebebasan manusia. Manusia hanya diperintah untuk mengontrol dirinya sehingga kebebasan itu tak berakibat kebablasan. Itulah yang saya pahami dari agama. Itu tepat dan benar, karena manusia memang seringkali melampaui batas, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun