Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aduh, Sudahlah Om Filsuf

21 Januari 2018   21:38 Diperbarui: 21 Januari 2018   22:24 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Kalau keadaan psikis masyarakat sudah berada dalam suatu keadaan tertentu yang tak kita inginkan, apa sih sebenarnya yang menyebabkan hal demikian terjadi?

Tak pernah habis kegelisahan melihat realitas yang memang tak pernah beres ini. Kriminalitas, kebodohan, ketidakmautahuan, dan berbagai sikap lain, makin hari makin buat pusing kepala. Berapa persen dari keseluruhan masyarakat ini yang hidup tanpa lagi berprinsip atau tanpa mau tahu soal aturan-aturan? Apa iya kita tak mau tahu tentang konsekuensi dan tanggungjawab dari segala yang kita lakukan? Atau, seberapa banyak manusia-manusia saat ini yang memandang hidup sebagai sesuatu yang absurd, tidak jelas arahnya, sehingga bebas berbuat sesuka hatinya?

Begitu juga para filsuf di sana itu, sibuk menciptakan teori, ideologi atau pemikiran tentang hukum dan norma-norma. Tapi, yang namanya pemikir, pasti hanya berpusat pada persoalan non-teistik. Ya jelas, karena mereka bukan nabi. Kalaupun pemikiran mereka berlandaskan atas agama, namanya juga tetap ideologi. Dan jangan ditambah-tambahi menjadi label "ideologi agama".

Tapi kemudian aku berpikir, kita memang kurang mengorientasikan diri kepadaNya. Atau, kita barangkali sering lupa (atau tak mau?) untuk mengikutsertakan Tuhan dalam segala aspek-aspek kehidupan. Tuhan ada, tapi tidak dalam ingatan. Atau, jangan-jangan mau berusaha mandiri hidup tanpa pertolonganNya?

Memangnya ada apa sih dengan ketentuan-ketentuan Tuhan? Tidak kompatibel dengan keadaan zaman saat ini? Aku jadi heran, Tuhan macam apa sih yang ada di kepala banyak orang? Kok perintah dan ketentuan-ketentuanNya tadi dianggap tidak dinamis dan dikira hanya diberlakukan untuk umat-umat terdahulu?

Aneh saja kalau pranata sosial yang kita buat kemudian menjadi lebih superior daripada pranata-pranata ketuhanan. Boleh saja. Tapi ada nilai-nilai yang lebih utama daripada apa yang bersumber dari manusia. Apa kemudian kita menganggap Tuhan sama sekali tak paham dengan apa yang dihadapi manusia-manusia modern zaman saiki?

Di sana orang-orang jelas lebih mematuhi norma-norma buatan manusia daripada buatan Tuhan. Tapi, di sini, apa kita sudah mematuhi keduanya? Atau jangan-jangan kita tak mematuhi keduanya sama sekali? Kan, masalahnya menjadi double. Terlalu jauh kalau membahas dalam konteks yang lain, sedangkan titik masalahnya tak lain adalah ketidakmautahuan. Aneh kan kalau kita tak mau lagi peduli dengan soal beginian. Aturan dilanggar, dan ketika akan dihukum, seribu lebih alasan keluar dari mulut. Belum lagi kalau kita lihat belakangan hari, dimana kok kayaknya hukum dijadikan alat untuk menghabisi pihak-pihak yang dianggap mengganggu. Yang paling klise ya itu: soal pencemaran nama baik. Soal malu, kayaknya tak jadi soal. Zaman sekarang menjadi seorang pemalu tak lagi pantas, mungkin.

Masalahnya, kita ini mau jadi masyarakat yang baik dan bener nggak sih? Kita ini mau belajar nggak sih? Kalau memang tak mau diajari, ya tak apa-apa. Asalkan ada kemauan untuk belajar walaupun secara otodidak.

Bayangkan saja, kalau dari satu orang yang tak mau tahu tadi ternyata dampaknya bisa memperparah keadaan. Jangan dianggap remeh, karena manusia memang saling mempengaruhi satu sama lain.

Akhirnya, satu permasalahan yang bersifat pribadi tadi bisa menjalar kemana-mana. Apa akan dibiarkan seperti itu masyarakat dengan keabsurdan-nya? Apa perlu dibiarkan begitu saja sampai kemudian merasa bosan sendiri, sadar, lalu kemudian mencari-cari kembali prinsip-prinsip hidup yang sudah sedemikian diabaikan, dicuekin karena tidak mau tahu tadi?

Tapi aku yakin, kita tak akan lagi mau membicarakan soal-soal beginian seandainya kita memang mau untuk selalu memahami hidup dan patuh pada ketentuan-ketentuan yang menjadi prinsip hidup kita. Bahas soal beginian capek. Dan yang pasti, si filsuf-filsuf di sana tak akan menguras otaknya untuk capek-capek berpikir demi masyarakat atau bangsa.

Karena perilaku kita sendirilah makanya kita juga yang kena dampaknya. Maksudnya, karena kita sendirilah yang  sebenarnya menzalimi diri kita sendiri.

Mana bisa kita hidup tanpa keterlibatan bantuan Tuhan. Lantas siapa yang sok dewasa seperti itu? Kalau bukan pada Tuhan dan apa yang telah diturunkanNya, mau pada apalagi kita akan berpegangan? Tapi banyak dari kita yang lebih percaya pada manusia yang sebenarnya pun tak berpegangan pada apa-apa. Kita lebih percaya dan mengikuti orang-orang yang tak percaya pada ketetapanNya. Apa dengan hal itu kita sudah merasa berpegangan pada prinsip yang  kokoh, yang absolut, yang tak akan pernah tergantikan?

Barangkali aku perlu menengok ke sana, mendatangi filsuf-filsuf tadi supaya tahu sampai mana konsep pemikiran mereka. Atau, kalau mereka mengakui keterbatasannya, aku akan bilang: " aduh, om filsuf. Cukuplah merepotkan dirimu sendiri. Tak akan bisa diperoleh hal semacam itu. Yang Maha Kuasa sudah memudahkan dan kita hanya tinggal menggali, memahaminya, dan menjalankan apa yang diperintahNya. Kok malah dibuat pusing sih? Cobalah sekali-sekali bersahabat denganNya, wahai manusia-manusia berakal. Tuhan sudah mengetahui segala persoalan kita. Kitanya yang tak pernah sadar sih. Kalian tak perlu mencari-cari dengan daya nalar yang terbatas itu. Bukannya apa, saya kasihan jadinya."

Tapi barangkali mereka akan mengatakan: "ini soal kewajiban. Masalah moralitas, norma, dan hukum, mesti menjadi prioritas dimana hal itu secara tidak langsung merupakan kebutuhan primordial."

Dari perkataan si om filsuf tadi aku jadi teringat cerita yang kudengar tentang seorang beragama yang hanya mau  patuh pada noma-norma agama tanpa mau patuh pada norma-norma konsensus manusia.

Ya, ada-ada saja memang tingkah manusia. Yang satu mengabaikan ketetapan Tuhan, yang satu lagi mengabaikan ketetapan manusia. Kita bisa lihat sendiri bagaimana mereka sibuk dengan kewajibannya masing-masing.

Dan om filsuf masih asyik berpikir, merumuskan apa yang dikatakannya tadi sebagai kewajiban yang mesti diimplementasikan demi kebaikan manusia.

"Bukannya kita mesti menyembuhkan penyakit yang tadi kau bilang?" tanya om filsuf.

"Ya," kujawab. "Tapi om tahu sendiri kan kalau secanggih apapun aturan yang dibuat, gak akan berarti apa-apa bagi orang-orang yang tak mau tahu, walaupun itu Tuhan yang membuatnya." 

Dan aku tak mau berpanjang lebar membicarakannya karena tak mau membuat mulutku makin lebar juga.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun