Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Manusia yang Rasional

30 Oktober 2017   21:37 Diperbarui: 30 Oktober 2017   22:04 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.saatchiart.com

Kalau sebagian orang mengatakan agama mengajarkan kebencian, ya saya mengakui dan membenarkannya. Itu tak salah. Itu tak keliru dan tak perlu dibantah. Agama mendoktrinasi penganutnya untuk mengetahui nilai-nilai dan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Di antara kedua polaritas nilai tadi, pastinya bagi penganut agama, nilai-nilai negatif-lah yang harus dibenci.

Pantas tidak kalau seseorang yang beragama --yang berprinsip pada nilai-nilainya-- tahan melihat korupsi, kriminalitas, melihat keburukan dan lain-lain? Jangankan umat beragama, karena seorang agnostik bahkan seorang ateis pun tak tahan melihat hal-hal semacam itu.

Agama memang secara jelas menunjukkan mana sisi-sisi positif dan negatif. Karena kita mengetahui perbedaan-perbedaan nilai-nilai tadi, seringkali tanpa pemahaman yang mendalam kita mudah untuk menjustifikasi atau menghakimi orang lain. Mengafir-ngafirkan atau membid'ah-bid'ahkan suatu hal adalah fenomena yang seringkali terjadi. Kalau sudah begitu berarti pihak yang bersikap demikian merasa memposisikan dirinya di level yang "sudah benar" sampai-sampai orang lain pun dinilai salah atau keliru bahkan sesat.

Ya, kita memang harus tahu nilai-nilai tadi. Mana yang sesat, mana yang korupsi, mana yang buruk, itu semua harus dipahami supaya kita bisa membandingkan dan memilih prinsip hidup pada posisi yang positif; yang berasas kebaikan dan kebenaran. Sekali lagi, jangankan seorang beragama, karena orientasi kebaikan ini pun sebenarnya sudah merupakan fitrah dan orientasi kita semua sekalian manusia, secara mutlak. Kerinduan akan nilai-nilai kebaikan itu ada pada diri kita. Masalahnya, seberapa tebal debu yang menutupi diri ini sampai menghalangi kerinduan pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran tadi?

Bukannya aneh kalau agama tidak mengajarkan soal kebencian? Cuma, soal apa yang patut dan mesti dibenci, inilah yang kurang  dipahami sampai-sampai yang terjadi adalah ekses intoleransi, bahkan ada pula yang membabi-buta menyerang sana-sini.

Kalau mau membenci sesuatu itu yang dipikirkan dulu-lah... Kita mau membenci juga caranya tidak selalu dengan sikap emosional, marah-marah, bengak-bengok dan lain sebagainya.

Kebencian Yang Rasional

Yang pasti ada cara yang lebih bijaksana yang bisa ditunjukkan untuk menyebarkan kebencian. Kebencian terhadap nilai-nilai keburukan tadi juga rasional kok. Kenapa harus membenci sesuatu, itu semua bisa dijelaskan dan bisa disepakati bersama. Apalagi sekarang kita sangat menekankan soal rasionalitas. Artinya, di sinilah kebencian terhadap keburukan tadi bisa dipaparkan walaupun hal itu berlandaskan pada subjektivitas keagamaan sehingga kemudian bisa diterima secara obyektif dan holistik. 

Tapi kalau caranya subjektif dan anarkistis, dampaknya, orang lain akan memaknai sikap seperti itu dengan impresi yang buruk, apalagi kalau yang melakukannya orang-orang yang beridentitas keagamaan. Ya, ada kebencian pada sesuatu yang itu berlaku secara universal selama kita --siapapun orangnya-- masih berprinsip pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Barangkali memang sudah merupakan kesempatan atau momen untuk mempromosikan substansi-substansi keagamaan kepada siapa saja. Umat beragama harus bisa menjadi manusia-manusia rasional yang tidak hanya memberikan doktrin dogmatis buta tanpa penjelasan yang logis. Apalagi kalau pakai kata-kata "sebagai orang beriman Anda harus mempercayai itu." Masalahnya, saya tak bisa mempercayai sesuatu begitu saja tanpa dianalisis atau dipahami. 

Karena usaha demikianlah yang membuat saya akan mengimani sehingga kemudian bisa meyakini secara utuh tanpa keraguan. Iman tanpa rasionalitas; beragama tanpa logika dan akal sehat adalah suatu kekosongan belaka bagi saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun