Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"De Javu" dalam Spiritualitas Islam

25 Oktober 2017   09:29 Diperbarui: 25 Oktober 2017   09:37 6215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: health.clevelandclinic.org

Lagi asyik-asyik makan mi instan tiba-tiba saya merasa sudah pernah mengalami momen makan itu pada saat itu juga. Orang bilang hal tersebut sebagai de javu. Ketika saya cari info tentang de javu tadi, ada yang mengatakan hal demikian ada kaitannya dengan ingatan, anomali, dan lain sebagainya. Sayangnya penjelasannya tak ada yang memuaskan.

Saya sempat heran karena pengalaman de javu tersebut memang pernah beberapa kali saya alami. Bagaimana bisa hal itu terjadi seolah-olah kita sudah pernah melakukan apa yang saat ini kita lakukan? Tapi kemudian pada saat itu juga saya diingatkan kalau sebenarnya --dalam perspektif Islam-- hal demikian bukan hal yang aneh.

Secara epistemologis Islam mengenal sebuah aktivitas spiritual yang disebut dzikir. Dzikir --secara umum-- adalah aktivitas mengingat Allah; bisa dengan memujiNya sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad atau sebagai usaha memohon ampun kepadaNya. Di sisi lain, dzikir tersebut juga memiliki manfaat sebagai salah satu cara pemerolehan ilmu dari Sang Pencipta --di samping Al Qur'an sebagai fundamennya. Bagaimana caranya? Hal demikian memang agak susah untuk dijelaskan secara ilmiah. Tapi, bagi saya, di dalam dzikir itu secara tak langsung Tuhan membagi atau mengajarkan atau mengingatkan seseorang yang berdzikir tadi yang ini juga tidak terlepas dari usaha untuk mengenalNya kembali.

Lagipula, kalau kita bicara soal laku spiritual, memang orientasinya tidak selalu kepada Sang Pencipta. Ada yang melakukannya untuk mendapatkan ketenangan dan kebijaksanaan tanpa secara langsung berorientasi kepadaNya. Walaupun tentu segala yang didapat tadi tak lain hanyalah berasal dariNya. Di dalam Islam sendiri memang orientasinya sangat jelas, yaitu untuk memuji atau mengagungkan Sang Pencipta. Soal ilmu kebijaksanaan, ilmu ladhuni atau bahkan ketenangan yang didapat, itu hanya semacam bonus saja.

Di dalam dzikir itu pula --selain mengingat Allah-- manusia menemukan kembali pengetahuan-pengetahuan yang dulu diketahuinya sebelum masa pra-kehidupan. Termasuklah pengetahuan dimana manusia sebelum dihidupkan ke dunia sudah berjanji untuk hanya menyembah kepada Allah. Dan masih banyak pengetahuan-pengetahuan yang tidak akan ditemukan di buku-buku, melainkan diperoleh langsung dariNya.

Maka, kalau dikaitkan dengan fenomena de javu, sebenarnya itu hal yang sama. Kalau manusia pernah merasa sudah pernah melakukan sesuatu pada saat-saat tertentu, memang manusia sebenarnya sudah mengetahui apa-apa saja yang akan dialaminya.

Lagipula, kita memang sudah dibekali pengetahuan oleh Sang Pencipta pada masa pra-kehidupan. Dan ketika kita berada di bumi, kita berada dalam keadaan kosong, murni, sehingga kemudian harus mencari lagi pengetahuan-pengetahuan yang sudah kita ketahui dahulu. Termasuklah upaya pencarian tadi dilakukan dengan aktivitas mengingat-ingat, yang lakunya disebut sebagai dzikir tersebut (di dalam Islam).

Juga, karena manusia memiliki memori yang terbatas. Seseorang tidak mungkin intens mempelajari banyak bidang ilmu dan mengingat semua itu karena pasti dia akan mengalami kelupaan pada apa-apa yang dia ketahui sebelumnya.

Dari situ pula saya sadari bahwa manusia di bumi ini berada dalam tiga tahap epistemologis; yaitu pencarian, penemuan, dan ingatan. Manusia mencari pengetahuan dimana kemudian dia menemukan apa yang dicarinya sehingga kemudian dia harus menjaga apa yang dicarinya itu dengan ingatannya.

Jadi tak heran kenapa ayat-ayat Al Qur'an pun banyak berisi pengulangan-pengulangan, karena untuk memudahkan pembacanya dan penghapalnya. Ini juga yang ditertawakan oleh seorang Orientalis, karena dia tidak mengetahui hakikat tiga tahap epistemologis manusia tadi.

Lagipula, kalau Tuhan menciptakan manusia dalam pencarian akan kesejatian, maka tidak mungkin Dia begitu tega membiarkan kita berada dalam pencarian tanpa berkesudahan. Maka kalau seseorang sudah menemukan, itu sudah sangat cukup baginya untuk kemudian lebih banyak mengingat apa yang diketahuinya supaya tidak lupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun