Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teologi Kebangsaan

7 Oktober 2017   23:07 Diperbarui: 7 Oktober 2017   23:10 3510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: hdmessa.files.wordpress.com

Persoalan teologi mestinya lebih kita dalami, terutama dalam konteks permasalahan-permasalahan kebangsaan.

Ya, teologi memang tidak lagi membahas persoalan yang bersifat teosentris yang hanya membicarakan soal tuhan, tuhan, tuhan, dan selalu tuhan. Padahal kalau mau mengetahui Tuhan, tentunya kita juga harus membaca fenomena atau apa yang Dia ciptakan, termasuklah dalam hal kebangsaan.

Saya yakin, seandainya kita bisa bersikap terbuka dalam persoalan teologis (yang dalam Islam disebut dengan ilmu Kalam), disamping kita bisa mengetahui tentang Tuhan dan sifat-sifatNya, kita juga bisa menerima ihwal kebangsaan yang selama ini sering kita nafikan.

Rasanya lucu kalau sebagai umat beragama kita dengan mudahnya menilai kalau agama-agama lain harus dihapuskan atau dibubarkan sebagaimana pernyataan yang dikatakan seseorang. Saya yakin kalau sebenarnya orang tersebut tak memahami agama secara historis; tak memahami sikap Nabi Muhammad dalam menyikapi keberagaman agama dan penganutnya; dan yang terutama, dia tak memahami teologi yang berhubungan dengan hal kebangsaan. Sedangkan ketiga persoalan tadi merupakan pengetahuan-pengetahuan fundamental yang mestinya dipahami secara mendalam sehingga seorang Muslim tidak terperangkap ke dalam pemahaman-pemahaman harfiah atau konservatisme.

Secara historis, saya tak pernah menemukan suatu kasus dalam Islam dimana Nabi berusaha membubarkan agama-agama di Makkah, Madinah, maupun di berbagai daerah yang dikuasai Islam.

Buktinya, kalau memang Nabi tidak mementingkan persoalan kebangsaan, tentunya beliau tak akan pernah membuat Piagam Madinah yang isinya berisi tentang nilai-nilai perdamaian dan persatuan terhadap masyarakat Madinah.

Masyarakat Yahudi dan penganut agama-agama lain pada saat itu dibiarkan memeluk agama masing-masing. Artinya, agama memang tidak pernah digunakan untuk memaksakan ajarannya melainkan sekedar mengajak. Lagipula, persoalan apakah yang diajak tersebut mau untuk mengikuti lalu kemudian memeluk agama tersebut, itu pun sudah termasuk hak Tuhan dan bukan hak manusia untuk menentukan. Persoalan hak untuk menentukan inilah yang termasuk dalam persoalan teologis dimana kita barangkali kurang memahaminya.

Begitu pun ketika Nabi Muhammad memasuki kota Mekkah pada saat Fathul Makkah dimana waktu itu sama sekali tak ada upaya ofensif dari pihak Nabi walaupun beliau membawa begitu banyak pasukan. Itu pun juga untuk memurnikan kembali ajaran Nabi Ibrahim dimana beliau --sebagai bapak para nabi-- memang mengajarkan pengikut dan generasinya untuk hanya menyembah kepada Sang Pencipta saja. Jadi, Fathul Makkah dan pembersihan berhala-berhala di sekitar Ka'bah memang sesuatu yang rasional dan bersifat historis, terutama dalam konteks agama Nabi Ibrahim. Soal berhala-berhala yang ada di sekitar Ka'bah, hal demikian pun sebenarnya hanya pengada-adaan orang-orang pada saat itu yang kemudian menjadi sebuah tradisi. Karena pada saat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka'bah, memang sama sekali tidak ada berhala-berhala di sekitar Ka'bah.

Kembali ke pokok permasalahan, tidak seharusnya ada seorang penganut agama yang mengatakan untuk membubarkan agama lain. Perbedaan-perbedaan agama itu pun termasuk karunia Tuhan. Kalau Dia berkehendak, tentu akan dibuatNya kita berada dalam satu agama. Atau, kalau Dia berkehendak, barangkali akan ada saatnya juga Dia akan melenyapkan agama-agama lain. Sekali lagi, persoalan seperti itu hanya hak Tuhan dan bukan urusan kita.

Dimana hak kita selain hanya sebatas berusaha? Apakah kita bisa dengan begitu sombongnya mengatakan "akulah yang menentukan segalanya"? Kalau ada pernyataan sesombong itu, yang pasti perkataan demikian hanya keluar dari mulut orang yang tak mengerti siapa dirinya. Begitupun dengan pernyataan soal membubarkan agama lain yang berdasarkan atas dasar sila pertama Pancasila, tapi tak terlepas dari subjektivitas keagamaan.

Kalau memang ada orang yang bisa menentukan segalanya (termasuk hidupnya), maka dia sudah pasti bisa memilih untuk lahir dimana, sebagai bangsa apa, berwarna kulit apa, berwajah seperti apa, atau lahir dari orangtua yang bagaimana. Apa bisa kita menentukan itu? Tidak. Kita hanya bisa menerima apa yang sudah ditentukanNya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun