Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Ini Emoh Diajari!

1 April 2017   16:48 Diperbarui: 2 April 2017   05:00 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.harianindo.com"][/caption]

Saya tahu dan paham kalau kita ini tak mau lagi diajari, dinasehati dlsbnya. Karena saya tahu bahwa kita sudah tak mau lagi diperlakukan begitu, jadinya saya pun tak mau menuliskan sesuatu yang berisi "kesok-tahuan" saya. Ya, saya maklum kalau kita sering bilangin orang "sok tahu", lantaran mungkin itulah implikasi dari ketidakmautahuan kita untuk diajari; ke-emoh-an kita untuk berpikir, ketidakmauan kita untuk belajar sendiri dan mencari tahu, maupun ketidakpedulian lainnya.

Ah, saya tak tahu apa ini juga karena sikap absoludisme atau ada faktor lain. Saya mengatakan absoludisme tidak lain karena saya seringkali melihat sikap orang-orang yang merasa sudah pintar, sudah suci, sudah tahu dan merasa tidak akan mengalami degradasi pada dirinya. Padahal dunia ini ada kontradiksi di dalamnya. Dalam arti, seseorang bisa saja mengalami eskalasi atau malah dekadensi. Kalau dia sedang berada di atas puncaknya, dia bisa turun tiba-tiba; kalau dia sudah tahu, dia bisa saja mengalami kelupaan sehingga pengetahuannya berkurang; kalau dia sehat segar-bugar, dia bisa saja kemudian disakitkan Tuhan. Tuhan bebas berbuat semauNya; Tuhan bebas menaikkan derajat seseorang atau bahkan menurunkannya. Saya sendiri akhirnya juga sadar dari kemabukan, bahwa saya tidak pantas untuk merasa sudah jadi. Dalam arti, saya mestinya selalu "berusaha menjadi" tanpa pernah merasa "sudah jadi". Lagian, saya rasa yang memaknai seseorang sudah begini-begitu, hal itu pastilah tugas orang lain yang melihatnya. Bukan, bukan saya yang mengklaim saya sudah jadi ini-itu. Ditambah lagi, dari situlah saya memang harus merasa berada di bawah; merasa selalu bodoh sehingga ingin keluar dari kebodohan, namun tanpa pernah merasa sudah pintar. Saya sendiri melihat konstelasi hidup ini lebih kepada usahanya daripada result-nya. Tidak ada suatu hasil yang abadi dan absolut di dunia ini. Tidak di sini, di dunia ini.

Anggaplah tulisan ini sebagai sharing. Jangan katakan sebagai suatu yang mengajari karena saya pun tak punya bakat untuk mengajari. Saya tahu itu. Kalau telinga sudah ditutup; kalau saran diabaikan; kalau kritik dianggap sebagai hinaan; kalau nasehat dianggap sebagai sesuatu yang tak lagi dibutuhkan, terus masukan apalagi yang akan membuat kita berkaca melihat diri sendiri? Syukur saja kalau ada yang pandai melihat dirinya dari luar sehingga dapat menyadari bahwa dirinya keliru, lalai, dlsbnya. Lha kalau yang tidak bisa melakukan itu, lalu bagaimana? Siapa yang akan memperbaiki dirinya kalau dia sendiri pun tak mau dibilangin? Itu ibarat seseorang yang wajahnya kotor lalu dia tak percaya waktu dibilangin orang lain "woi, wajahmu itu kotor." Di sisi lain, dia juga tak mau berkaca melihat wajahnya sendiri dan tetap berjalan seolah-olah di wajahnya tak ada kekotoran apa-apa.

Ini semacam pintu kritik yang mesti dibuka lebar-lebar. Mau mengkritik siapa? Orangtua, pun boleh dikritik kok. Tentunya yang tak boleh itu menasehati orangtua. Itu namanya kurangajar. Karena lagian, setiap manusia berada pada tingkat pengalaman maupun pengetahuannya masing-masing. Orangtua yang sudah bongkok belum tentu bisa bersikap bijaksana, karena bisa saja seorang anak muda lebih bijaksana disebabkan dia lebih intens dalam memahami bagaimana kehidupan dan bagaimana mesti menyikapinya. Saya kira yang namanya kritik itu pasti kompatibel dengan kita semua karena dia tak memandang usia, apa maupun siapa orangnya. Semua orang bisa salah, dan semua orang punya hak untuk memperbaiki kekeliruan.

Lagian, kenapa kritik lebih ampuh daripada nasehat yang terkesan hierarkis, saya rasa lantaran setiap orang punya pandangan dan argumennya masing-masing. Seorang anak boleh saja punya pandangan berbeda dengan bapaknya. Dan pastinya, dia juga punya jalan sendiri yang tak bisa dipaksakan. Ini soal kebebasan berpikir dan berkeyakinan, kan begitu?

Terus, apa sebuah kritik itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mengajarkan di saat kita emoh diajari orang lain? Saya rasa tidak. Tapi pastinya cara atau bahasanya yang membuat kesan kritik itu menjadi sesuatu yang mengajarkan, mengindoktrinasi dari atas kebawah, satu arah. Mungkin kita bosan disuguhi ceramah satu arah semacam itu. Kita bosan dianggap sebagai seorang cemen bodoh yang perlu diajarkan. Dari situ saya jadi berandai-andai, gimana caranya supaya kita bisa bersikap dialogis, komunikatif sehingga nasehat atau kritik itu bisa masuk meresap dan tidak dianggap sebagai iklan asal lewat yang tak bernilai sama sekali?

Tak usah jauh-jauh untuk mengambil contoh. Saya saja seringkali merasa bosan dengan khotbah-khotbah yang tidak dialogis, dimana sang pengkhotbah hanya bermonolog mengatakan ini-itu tanpa menggelitik atau menstimulasi pikiran dan perasaan saya. Saya rasa memang perlu untuk kita menggelitik pikiran orang lain di tengah kemalasan ini.

Atau, apa perlu kita bersikap (pura-pura) sok tahu di depan orang lain supaya mereka jadi muak? Soalnya, ketika saya melihat orang-orang seperti itu kadang-kadang saya juga jadi malas sampai-sampai terangsanglah minat saya untuk lebih banyak berpikir, belajar, atau bahkan mengkritisi suatu fenomena. Ini jadi semacam motivasi, tentunya.

Sekali lagi, ini hanya sharing. Saya tak berniat untuk mengajarkan kepada siapa pun. Beneran lho...[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun