Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dunia Narsistik

16 Mei 2016   19:57 Diperbarui: 16 Mei 2016   20:00 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini orang-orang pada sibuk ingin jadi ini-itu; dokter, guru, seniman, pegawai, pedagang, dsbnya. Sedangkan saya sampai sekarang hanya menjalani saja apa yang harus saya jalani. Ketika terbesit sedikit perasaan atau pikiran langsung saya tuliskan. Itu saja. Dan saya tidak ingin mengklaim diri saya sebagai penulis, blogger, atau dengan sebutan lainnnya, karena itu adalah hak orang lain yang menentukan. 

Sebagai manusia, profesi, identitas atau sebutan lain yang disebut di atas hanyalah sarana untuk mengejawantahkan kemanusiaan kita sebagai manusia. Dari pekerjaan itu kita lakukan hal-hal bernilai baik yang bermanfaat untuk orang lain. Tapi kalau sebuah profesi dijadikan prioritas tanpa terlebih dahulu mengenal diri ini, hal itu menjadi kurang berfaedah. Apalagi kalau pekerjaan sekedar dijadikan dalih untuk mendapatkan penghasilan, uang, dan materi lainnya untuk kepentingan pribadi, tentu itu sudah tidak sesuai dengan tujuan seharusnya, karena segala pekerjaan itu hanyalah sekedar tampilan luar yang menutupi seorang manusia. Makanya  kita sering menyaksikan bagaimana seorang yang berprofesi dokter terkadang juga ada yang menyalahgunakan profesinya untuk melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan dalam hukum. Begitu pun dengan profesi lain  yang kadang kita saksikan.  Apalagi kalau ada orang yang berlagak dan mengklaim dirinya sebagai polisi, ahli agama, dsbnya, cukuplah saya tertawa menyaksikan kebodohan-kebodohan seperti itu.

Apakah fenomena seperti ini ada implikasinya dengan narsisisme yang sedemikian masif atau tidak, tentu itu tak bisa dilepaskan. Setiap orang kini bebas melakukan apa saja dengan adanya media sosial internet. Tapi tidak banyak yang memberikan nilai positif dan malah cenderung berisi narsisisme penggunanya yang ingin menarik perhatian orang lain. Tidak di sana tidak di sini, melakukan apa saja langsung difoto dan dishare ke orang lain. Padahal apa pula baiknya sama orang lain? Untuk mendapat pujian? Disukai, dikagumi, dsbnya? Semua itu terasa seperti angin lalu yang lewat dan tak meninggalkan bekas apapun. 

Kalau saja kita bisa memanfaatkan media sosial untuk kebaikan, tentu akan lebih berfaedah. Makin mudah saat ini kita melihat sisi luar yang tak terjangkau, kok malah hal-hal semacam itu yang kita dapatkan? Ditambah lagi kontrol pada media sosial tidaklah begitu ketat. Media sosial adalah tempat berbaurnya segala hal dari yang baik sampai yang buruk. Tidak ada penyaringan konten yang sesuai dan semua orang bebas berbuat di dalamnya, yang itu juga cenderung bebas dari nilai.

Memang tidak semua orang memanfaatkan media sosial dan membagikan ilmu yang sesuai dengan profesinya. Karena pun media sosial juga telah dijadikan sarana eskapisme. Sebagai tempat pelampiasan emosi, curhat, dsbnya. Bahkan sampai yang berbau hina menghina atau sarkasme. Karena memang dalam berperilaku di dalam media sosial, setiap pelakunya tidaklah lagi merasa malu, sungkan, dan ragu untuk membagikan kegiatan yang dilakukannya disebabkan pelakunya memang tidak bertatapan langsung dengan orang lain.

Inilah dunia narsistik, dimana orang-orang mengklaim dirinya dan ingin diakui.[]

Tulisan ini juga terdapat di blog monyetsinting.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun