Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waktuku Sendiri

23 Oktober 2017   13:18 Diperbarui: 23 Oktober 2017   13:35 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku senang menyendiri. Bukan berarti aku membenci keramaian. Tidak. Aku kadang-kadang berada di keramaian.

Bulan. Dari benda langit itulah aku belajar tentang menyendiri. Pernah suatu malam aku berbisik padanya, "ajarilah aku menikmati kesendirian, sebagaimana engkau". Ia pun mengajariku dengan syarat aku harus menikmati gelapnya malam. Rasanya sulit menikmati gelapnya malam di kota yang terlalu gemerlap.

Cerita. Aku biasa bercerita pada diriku sendiri. Itulah sebabnya aku juga suka membaca. Karena banyak hal yang bisa kuceritakan ketika membaca buku. Berbicara pada diriku sendiri adalah kebiasaan yang juga sering kulakukan. Entah di rumah, di jalan, atau saat sedang bekerja.  Aku sering berpikir, bertanya, lalu menjawab pertanyaanku sendiri. Meski demikian kadang juga aku tidak bisa memikirkan apa-apa.

Dari semua hal yang kupikirkan, salah satu yang paling sering adalah waktu. Apa itu waktu? Aku sudah membaca dan mencari tentang waktu namun aku tetap tidak tahu. Yang kuyakini tentang waktu ada empat hal. Waktu itu bertambah. Kanak-kanak menyukai konsep ini ketika berulang tahun. Umur mereka bertambah. Kita selalu mengaitkan umur dengan waktu. Waktu itu juga berkurang. Orang yang telah dewasa memahami hal ini. Sisa waktu yang ada, bagi kita yang mengerti, akan kita gunakan untuk berbuat baik kepada sesama dan kepada alam ini.

Entah pengertianku salah atau tidak, waktu juga berhubungan dengan perkalian. Aku yakin waktu bisa dikali melalui seberapa banyak hal yang bisa kita kerjakan dalam sehari, misalnya. Seorang pemalas tidak memahami hal ini. Itulah yang membuatku rajin bekerja dan sebisa mungkin menyelesaikan banyak pekerjaan dalam satu hari. Aku telah belajar dari penundaan. Penundaan membuatku kewalahan pada akhirnya. Selain itu, kurasa kita bisa memaknai waktu dengan berbagi kepada sesama.

Fisika memberi arti lain pada waktu. Waktu adalah salah satu besaran yang menunjukkan durasi berlangsungnya suatu peristiwa. Ketika berangkat ke kantor biasanya aku menghitung berapa lama aku berada di perjalanan. Belum lagi kalau terjebak kemacetan. Manusia membutuhkan waktu untuk melakukan segala sesuatu. Bahkan ketika tidak mengerjakan apa pun.

Andai aku benar-benar paham apa itu waktu. Tetapi aku sudahi dulu membahas tentang waktu. Kembali lagi ke kebiasaanku menyendiri. Ini sebenarnya bukan hal aneh. Karena memang kita diciptakan sendiri-sendiri. Banyak orang mungkin tidak menyadari ini. Kesadaran setiap orang tentang keberadaan dirinya telah terserap oleh aktivitas sehari-hari yang begitu padat. Sehingga lupa bahwa mereka sendiri.

Banyak hal yang menjadi kelemahanku. Meski aku ragu ini kelemahan atau bukan. Salah satunya adalah tentang cinta. Aku sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Sudah banyak kisah cinta yang kudapatkan dengan membaca buku. Meski demikian tak satupun mewakili cerita cintaku. Oleh karena itu, aku pun menuliskannya walau tak sebaik yang pernah dikisahkan.

Cinta. Itulah yang kurasakan saat ini pada seseorang. Entah dari mana munculnya rasa ini. Gadis yang padanya aku tertarik ini awalnya biasa saja. Hanya saja lama-kelamaan kuperhatikan, ternyata dia cantik. Tidak hanya itu, dia pun sederhana. Ketika rasa cinta itu terbit dalam hatiku, kata-kata pun tak mau keluar dari mulutku saat berhadapan dengannya. Mungkinkah hanya aku yang mengalami ini? Apakah orang lain pernah mengalami hal seperti ini? Aku bertanya pada diriku sendiri. Andai aku bisa menjadi orang lain.

Dengan yakin aku menyiapkan sebuah puisi. Lihatlah! Cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau, bagaikan merpati matamu. Sebait puisi yang kucuri dari seorang penyair untuknya. Puisi yang tak pernah berani kubacakan padanya sampai waktu berlalu begitu saja. Untungnya dia belum berlalu. Namun aku terus menyalahkan diriku sebab nyaliku terlalu kecil mengungkapkan isi hatiku padanya. Padahal aku tinggal mengungkapkan saja, begitu mudah, kataku dalam hati. Setelah kuselidik dengan agak teliti, aku hanya takut cintaku ditolak. Itu saja. Malahan aku mengutuk waktu karena cinta ini tidak tertahankan lagi. Itu soal cinta. Lain lagi dengan pekerjaanku.

Enam tahun sudah aku bekerja sebagai pengajar. Pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati akan terasa mudah. Sayangnya selalu ada kondisi yang membuat pekerjaanku terasa berat. Di saat-saat seperti itu kadang aku menanyakan pada diriku apakah aku benar-benar menginginkan pekerjaan ini. Apakah aku sudah tepat menjadi seorang guru? Apakah aku menikmati pekerjaan ini? Apakah aku telah mengalami perkembangan? Kata orang menjadi guru adalah hal mulia. Profesinya mulia, tapi tidak dengan orangnya. Aku melihat sendiri banyak guru tidak serius pada tugasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun