Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Tua, Momok bagi Sekolah?

9 Oktober 2017   21:32 Diperbarui: 9 Oktober 2017   21:34 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hubungan orang tua dengan sekolah kadang terlihat kurang baik. Hubungan ini seharusnya harmonis mengingat pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tua dan sekolah. Pada kenyataannya, beberapa sekolah berusaha mengurangi -- bahkan menghindari -- campur tangan orang tua yang berlebihan terhadap pendidikan anak di sekolah. Seolah-olah sekolah tidak sanggup memberikan pendidikan terbaik bagi anak mereka. 

Tindakan berlebihan orang tua ini misalnya mengantarkan anaknya sampai masuk ke dalam kelas, mengantarkan bekal makan siang (atau buku yang ketinggalan) sampai ke dalam kelas, menunggu anak di dalam lingkungan sekolah. Tidak jarang orang tua melanggar aturan yang telah dibuat oleh sekolah. Sering pula mereka malah marah-marah jika ditegur oleh satpam, guru piket, atau pihak sekolah.

Fenomena di atas biasanya terjadi pada tingkat sekolah dasar (SD). Rekan-rekan guru SD biasanya curhat bahwa orang tualah yang sekolah, bukan anak. Beda lagi pada tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Peran orang tua memang sedikit berkurang. Namun, masih ditemui beberapa orang tua  yang terlalu berlebihan dalam mengontrol aktivitas anak di sekolah. Demikian pula pada tingkat menengah atas.

Kalau begitu, bagaimana kita mengidentifikasi peran orang tua terhadap pendidikan anak? 1) mengontrol waktu belajar dan cara belajar anak, 2) memantau perkembangan kemampuan akademik anak, 3) memantau perkembangan kepribadian yang mencakup sikap, moral dan tingkah laku anak, 4) memantau efektifitas jam belajar di sekolah.

Dalam hubungannya dengan sekolah, sebenarnya, peran orang tua tersebut di atas bisa bersinergi dengan peran sekolah. Guru di sekolah mengajar dan mendidik anak, sementara orang tua bisa memantau perkembangan kemampuan akademik anak melalui laporan hasil belajar, baik harian maupun bulanan hingga akhir semester. Namun, terkadang orang tua terlalu campur tangan mengontrol hasil belajar anak. Sering pula ditemui orang tua tidak terima kalau nilai anaknya jelek -- tanpa mempertimbangkan kemampuan anak. Pokoknya nilai anaknya harus selalu bagus! Padahal dalam kenyataannya kondisi anak tidak selalu stabil saat mengikuti pelajaran di sekolah. Ini bisa membuat guru pusing tujuh keliling.

Di rumah, orang tua bisa memantau waktu dan cara belajar anak. Mungkin ada tugas dari sekolah yang harus dikerjakan di rumah. Karena anak kadang lupa bahwa mereka memiliki tugas dari sekolah. Kendala dalam peran orang tua di sini adalah orang tua bekerja dari pagi sampai malam sehingga tidak bisa memantau waktu dan cara belajar anak dengan sepenuhnya. Itulah yang terjadi di kota-kota besar. Biasanya orang tua mencari solusi dengan mendaftarkan anaknya ke bimbingan belajar (bimbel). Dengan harapan tugas-tugas sekolah anaknya dapat terselesaikan. Mungkin itu sebab bimbel menjamur di kota-kota besar.

Ada lagi fenomena yang bisa ditemui di sekolah. Fenomena ini belum lama dialami oleh dua orang rekan saya. Fenomenanya adalah rebutan hak asuh anak di sekolah. Pertama, seorang anak SD harus menghadapi masalah orang tuanya berpisah. Hak asuh didapatkan oleh sang ibu. Namun sang ayah ternyata diam-diam datang ke sekolah memberikan perhatian kepada anaknya. Awalnya sekolah belum tahu bahwa orang tua ini telah bercerai. Tiba-tiba saja sang ibu, ditemani oleh kakek si anak, datang ke sekolah marah-marah karena mengizinkan ayah si anak datang berkunjung. Padahal pihak sekolah belum tahu duduk perkaranya.

Kedua, masih perceraian orang tua. Kali ini murid SMP. Anak ini - bersama saudaranya - tinggal bersama ayah mereka. Dia mulai malas bersekolah. Dan mengurung diri dalam kamarnya. Demikian keterangan dari sang ayah ketika datang ke sekolah. Sang ayah juga tak terima kalau kedua anaknya tinggal bersama ibunya. Tentang masalah anaknya yang tidak semangat bersekolah sudah ditangani oleh guru bimbingan konseling.

Belum lama ini pula sekolah kami mengadakan kegiatan di luar sekolah. Lokasinya tidak terlalu jauh dari sekolah. Adapun kegiatannya adalah pembinaan karakter dan kegiatan kepramukaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membentuk karakter dan menumbuhkan kemandirian, kerja sama, tolong menolong dalam diri peserta didik. Ini merupakan kegiatan tahunan sekolah. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan dua hari satu malam. Jadi kami akan "menginap" satu malam.

Awalnya direncanakan peserta akan tinggal di tenda, termasuk guru. Namun banyak orang tua tidak setuju. Maunya sewa villa. Masa iya camping tinggal di villa. Setelah dinego akhirnya beberapa peserta menginap di villa (dengan fasilitas mewah). Tidak hanya itu, ternyata masih ada orang tua yang tidak ingin anaknya gabung dengan siswa lain. Ada-ada saja. Padahal tujuannya adalah agar anak mampu bersosialisasi. Orang tua memang kadang menjadi momok bagi sekolah. Orang tua justru menjadi penghambat bagi sekolah untuk menjalankan pendidikan.

Barangkali masih banyak lagi kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik anak maupun dalam memantau pendidikan mereka di sekolah. Kalau dituliskan kesalahan-kesalahan tersebut, antara lain: menumbuhkan rasa takut dan minder pada anak, mendidik anak menjadi sombong terhadap orang lain, membiasakan anak hidup berfoya-foya, selalu memenuhi permintaan anak, terutama ketika anak sedang menangis, terlalu keras dan kaku dalam menghadapi anak, terlalu pelit terhadap anak (melebihi batas kewajaran), tidak mengasihi dan menyayangi mereka sehingga mereka mencari kasih sayang di luar rumah, orang tua hanya memperhatikan kebutuhan jasmaninya saja, orang tua terlalu berprasangka baik kepada anak-anak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun