Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bedanya Hukuman dan Kekerasan dalam Pendidikan

30 Mei 2017   16:00 Diperbarui: 30 Mei 2017   17:12 2454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh guru di sekolah adalah bagaimana memberikan hukuman yang tepat kepada peserta didik. Tidak hanya guru, termasuk pula orang tua. Salah memberikan hukuman bisa dianggap sebagai kekerasan kepada anak. Untuk lebih memahaminya kita perlu mengetahui perbedaan antara hukuman dan kekerasan.

Hukuman dan kekerasan mungkin sama-sama berpotensi menyakiti (melukai) baik psikis maupun fisik, bisa pula sama-sama bertujuan untuk menghentikan perilaku-perilaku tertentu. Namun, hukuman lebih dilandasi komitmen moral dengan tujuan mendidik. Sedangkan kekerasan dilakukan bukan dalam rangka mendidik. Di sana terdapat emosi―misalnya amarah atau kekesalan―dan dampaknya berbahaya bagi fisik maupun psikis anak.

Pemberian hukuman

Hukuman sebenarnya merupakan bentuk sanksi yang diberikan karena melanggar norma yang berlaku. Dalam teori perilaku (behavior), hukuman merupakan penguat negatif yang bisa berupa pelemahan atau penekanan perilaku tertentu, atau penghilangan perilaku. Tentu perilaku yang ingin dilemahkan, ditekan atau dihilangkan adalah perilaku yang tidak sesuai aturan. Singkatnya, hukuman merupakan salah satu alat dalam mendidik.

Untuk lebih jelas kita perlu mencari pandangan lain tentang pemberian hukuman pada peserta didik. Cicero (106 S.M – 43 S.M.) mengemukakan pendapatnya tentang hukuman, yaitu bahwa: (1). Hukuman fisik sebaiknya diberikan ketika semua hukuman lainnya gagal mendisiplinkan anak; (2). Anak sebaiknya jangan direndahkan dengan cara hukuman. Artinya, hukuman tidak bermaksud merendahkan atau mempermalukan anak; (3). Hukuman sebaiknya jangan pernah diterapkan dalam kemarahan; (4). Hukuman sebaiknya ditangguhkan hingga cukup waktu untuk refleksi bagi guru dan murid; (5) Alasan-alasan untuk hukuman sebaiknya diberikan. Anak harus memahami mengapa ia dihukum; (6) Anak dibimbing untuk melihat keadilan dari hukuman yang dibebankan.

Menurut Martin dan Pear (dikutip oleh M. Djamal, 2016), hukuman lebih efektif apabila memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: (1). Waktu yaitu kapan hukuman harus diberikan dan dihentikan. Hukuman juga harus memperhatikan usia anak; (2), Alasan yaitu pemberian hukuman harus disertai alasan yang objektif dan benar bukan pertimbangan subjektif; (3). Konsisten yaitu bahwa hukuman diberikan sesuai dengan perilaku tertentu yang ditetapkan; (4). Didasarkan perasaan kasih sayang.

Berdasarkan dua pandangan di atas, jelas bagi kita bahwa hukuman dilandasi pada komitmen moral, melibatkan berbagai pertimbangan (waktu, usia anak, emosi), dan konsistensi. Bahkan, Cicero menyarankan agar hukuman fisik dijadikan alternatif terakhir. Mengapa? Menurut saya, agar kita memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan mengapa anak dihukum. Bisa juga untuk meredakan amarah kita sehingga menghindarkan kita dari tindakan kekerasan.

Selain itu, orang bijak pernah berkata, “engkau memukulnya dengan tongkat, tetapi engkau melepaskan jiwanya dari alam maut”. Ajaran ini tentang mendidik seorang anak atau membentuk moralnya. Misalkan, seorang anak melakukan perbuatan mencuri. Setelah ditegur berkali-kali, lalu diberi penjelasan bahwa seseorang tidak boleh mengambil yang bukan hak (milik)-nya, tetapi si anak masih melakukan atau mengulangi perbuatannya, maka hukuman fisik diterapkan. Ini demi keselamatan jiwa si anak kelak. Lagipula, bila dilandasi kasih sayang dan moralitas si anak, maka pemberian hukuman fisik tidaklah mungkin sampai mencelakai si anak. Seorang pendidik (baik orang tua maupun guru) tidak boleh, sekali saja pun, membiarkan perbuatan buruk anak menjadi kebiasaan.

Tindakan kekerasan

Bagaimana dengan kekerasan? Kekerasan merupakan perilaku seseorang kepadaorang  lain dengan maksud menyakiti atau melukai. Berbeda dengan pemberian hukuman, kekerasan bukan dalam rangka mendidik. Beberapa tindakan yang termasuk dalam kekerasan yang sering ditemui di sekolah, antara lain: memukul, mencubit, memelintir, menampar, berdiri di depan kelas, push up beberapa kali, membersihkan kamar mandi, lari keliling lapangan, mengusir dari kelas, menjemur, sampai kekerasan seksual. Sekilas beberapa tindakan di atas bukanlah kekerasan, melainkan hukuman. Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh pendidik.

Umumnya tindakan kekerasan terjadi karena disebabkan oleh: siswa ramai di kelas, siswa datang terlambat, tidak mengerjakan tugas, mengganggu teman, dan lain sebagainya. Tindakan fisik, seperti memukul, sering dipicu oleh rasa kesal sang guru. Apalagi siswa tersebut sudah berulang kali berulah. Tidak ada jeda bagi siswa untuk memikirkan ulang perbuatan (salah)nya sebab guru tidak memberikan penjelasan. Atau juga hanya dengan penjelasan singkat, lalu langsung memukul siswa. Dengan kata lain, pendidik memberlakukan tindakan kekerasan karena didasari oleh pandangan subjektif dan disertai rasa kesal atau marah.

Tindakan kekerasan dikatakan kekerasan juga karena tindakan tersebut tidak konsisten terhadap perbuatan salah peserta didik. Misalkan, siswa yang tidak mengerjakan tugas rumah (pekerjaan rumah – PR) disuruh berdiri di depan kelas atau diusir ke luar kelas. Dalam hal ini guru tidak mempertimbangkan, misalkan, kemampuan siswa, PR dari guru lain, PR terlalu sulit bagi siswa, kondisi siswa saat di rumah, atau faktor-faktor lainnya. Malahan hak siswa untuk mengikuti proses belajar menjadi hilang karena disuruh berdiri atau diusir dari kelas. Selain itu, dampak psikologis (rasa malu, lelah, takut) terhadap siswa tidak menjadi pertimbangan guru. Supaya tidak terjerumus pada kekerasan, seorang pendidik wajib mengetahui alasan di balik perbuatan peserta didiknya. Sehingga dapat memberikan teguran dan/atau hukuman yang tepat. Bahkan bila perlu, si anak diberitahukan mengapa penting baginya untuk mengerjakan PR.

Contoh lain ketika siswa ramai di kelas. Maksud ramai di sini adalah sebagian atau seluruh siswa membuat suara, berbicara, berteriak, atau mengganggu teman saat guru sedang mengajar. Hal ini memang sangat mengganggu bagi guru. Respon guru biasanya dimulai dengan diam sejenak (sambil mata melotot), memukul-mukul meja, sampai berteriak untuk menertibkan kelas. Guru diliputi perasaan marah, membentak-bentak siswa. Secara psikologis, hal ini berdampak buruk bagi peserta didik. Menciptakan rasa takut terhadap guru. Tentu kita tidak menginginkan hal ini. Hal yang sering tidak disadari oleh guru dalam hal ini antara lain: bisa jadi pelajaran membosankan, siswa lelah, pembawaan guru terlalu monoton, konsentrasi siswa telah memudar, atau bahkan saat itu siswa sedang tidak tertarik untuk belajar. Di sisi guru, kita bisa amati bahwa guru bersangkutan tidak memiliki kemampuan menguasai kelas, membuat pelajaran lebih menarik bagi siswa, hingga tidak memiliki kemampuan mengintrospeksi diri. Saya pikir, membentak siswa merupakan tindakan kekerasan.

Beberapa saran

Lalu apa yang membuat guru lekas marah atau kesal sehingga melakukan kekerasan? Pertama, guru merasa dilecehkan oleh siswa. Umumnya guru merasa dilecehkan ketika siswa menunjukkan perbuatan mengganggu, tidak mengerjakan PR, atau ramai dalam kelas. Guru yang seperti ini biasanya memiliki harga diri (self esteem) yang tinggi, ingin dihormati, ingin didengarkan. Baginya peserta didik berada di bawah kekuasaannya (lebih rendah). Kekurangan tipe guru ini adalah kurangnya introspeksi diri dan kurang peduli terhadap kondisi siswa.

Di zaman ini, pendidik dituntut untuk sanggup mengenali kondisi generasi yang sedang dididiknya―generasi milenial. Yang dibutuhkan di sini sebenarnya adalah seorang pendidik yang sanggup berinovasi dan peduli terhadap peserta didik. Sehingga pendidik mengenal dengan benar kecerdasan, kondisi mental, atau cara belajar para peserta didiknya. Ibarat orang dewasa berjalan bersama anak kecil; adalah salah bila anak kecil disuruh mengikuti gerak dan kecepatan langkah orang dewasa. Demikian pula mendidik anak zaman sekarang. Pendidik harus melangkah bersama peserta didik. Tuntutan pendidik tidak bisa serta-merta dipaksakan kepada peserta didik. Harus dengan pendekatan yang tepat.

Kedua, guru tidak bisa mengendalikan diri. Biasanya guru seperti ini memiliki sifat mudah marah atau meledak-ledak. Sifat marah ini biasanya semakin nyata ketika sang guru memiliki beberapa masalah baik dalam dirinya, seperti memiliki penyakit hipertensi, maupun dari luar dirinya, misalnya masalah keluarga. Guru seperti ini, saya pikir, perlu melatih diri untuk mengendalikan amarah dan lebih menunjukkan keprofesionalannya saat berada di lingkungan sekolah.

Sebagai penutup, ketika pendidik memberikan hukuman kepada peserta didik, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip yang telah dituliskan di atas, yakni mempertimbangkan antara lain waktu pemberian hukuman, alasan, konsistensi dan prinsip keadilan. Pendidik sebaiknya tidak memberi label tertentu―siswa pemalas, bodoh, pembangkang, kelas nakal, dll―kepada peserta didik. Sebaliknya, pendidik disarankan untuk melangkah bersama ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Penting juga untuk memiliki seperangkat norma atau aturan di sekolah yang membatasi pemberian hukuman supaya tidak terjerumus kepada tindakan kekerasan. Terakhir, sekolah wajib membangun komunikasi yang baik kepada orang tua murid dalam mendidik anak.

Sumber bacaan:

Djamal, M. 2016. Fenomena Kekerasan di Sekolah. Pustaka Pelajar.

Seeley, Levy. 2015. Sejarah Pendidikan. IndoLiterasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun