Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Sejarah Kereta Api di Indonesia: Memahami Masa Lalu untuk Masa Kini dan Masa Depan

27 April 2021   12:16 Diperbarui: 27 April 2021   14:15 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MRT, LRT, KRL Sumber: https://lrtjabodebek.adhi.co.id/

Sebagaimana di Aceh, tidak semua rute kereta yang pernah ada masih berfungsi hingga saat ini. Rute Semarang -- Rembang yang diambil alih pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan, misalnya, telah berhenti beroperasi sejak tahun 1988 akibat kerugian yang terus didera dikarenakan ketidakmampuan pengelola dalam bersaing dengan moda transportasi lain. 

Penyebab kerugian dari rute yang awalnya dibangun oleh perusahaan swasta Belanda bernama Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) ini adalah serangkaian kebijakan pemerintah Indonesia pasca pengambilalihan rute ini, dimulai dari ketidakoptimalan perbaikan armada dan lintasan hingga pengembangan infrastruktur yang lebih dititikberatkan pada pembangunan jalan raya. 

Padahal pada masa awal pembangunannya pada tahun 1881, rute ini dipandang menjanjikan karena mampu membantu para pengusaha dalam mengirimkan hasil bumi. Bahkan, sampai sebelum tahun 1970, pemerintah masih gencar membangun stasiun di sepanjang rute Semarang -- Rembang seperti misalnya Stasiun Tawang, Stasiun Demak, dan Stasiun Kudus (Kusuma, Purnomo, & Romadi, 2018).

Nasib serupa terjadi dengan rute Makassar -- Takalar di Sulawesi. Ketika pertama digagas pada akhir abad ke-19, rute ini juga difungsikan untuk mengangkut hasil bumi. Staatstramwegen op Celebes (STC) dipercaya selaku perwakilan SS untuk memulai pembangunan pada tahun 1920. Kereta umumnya ditujukan untuk mengangkut hasil bumi dari Takalar menuju Makassar. 

Selain itu, rute ini juga memiliki fungsi serupa seperti di Aceh, yakni sebagai bagian dari strategi militer Belanda dalam menghadapi gerilyawan. Sayangnya pada tahun 1930, muncul proposal untuk menghentikan kegiatan STC di Sulawesi dengan alasan kerugian ekonomi dari operasi jika masih diteruskan. Hasilnya, sejalan dengan penutupan STC, rute Makassar -- Takalar turut ditutup (Nasrul, Najamuddin, & Asmunandar, 2018).

Signifikansi Sejarah Kereta Api terhadap Indonesia Hari Ini

Tidak dapat dipungkiri, dari dulu hingga sekarang, pembangunan infrastruktur dan pengenalan moda transportasi baru kerap kali melibatkan alasan politis, ekonomis, maupun keduanya. Terlebih dalam hal pembangunan rute kereta api dan transportasi sejenis, investasi yang diperlukan tidaklah sedikit. 

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sampai pada batas tertentu, kita dapat membaca pola pembangunan infrastruktur penunjang berdasarkan apa kepentingan politis yang melatarinya serta dampak ekonomi seperti apa yang akan terjadi ke depannya. Jika pada masa lalu kereta api diperkenalkan sebagai mekanisme pertahanan perang dan sarana logistik untuk membawa hasil bumi keluar dari Bumi Nusantara, maka hari ini pembangunan sejenis tidak dapat dipisahkan dari politik populis sebagai sarana mengapit konstituen dan sekaligus juga sarana untuk mempercepat aliran barang dan uang keluar-masuk suatu wilayah.

Hal ini tidak serta-merta berarti buruk, kendati ketulusan motivasi patut dicurigai. Toh pada dasarnya, sulit mengharapkan panggilan moral sebagai motor pembangunan. Sebagaimana Fadli Zon dulu pernah menyatakan bahwa "Korupsi justru menjadi oli bagi pembangunan" (Widhana, 2015), penulis memandang bahwa ada kalanya motivasi egoistik kalangan tertentu dapat berguna untuk mempercepat pembangunan yang pada gilirannya nanti dapat memudahkan hajat hidup orang banyak.

Yang perlu menjadi perhatian, menurut hemat penulis, justru adalah dampak sosial. Sebagaimana sejarah telah memperlihatkan bagaimana percepatan lalu lintas manusia berdampak pada segregasi maupun konflik sosial ketika dua atau lebih kelompok yang berbeda dipertemukan, pembangunan infrastruktur yang tengah gencar-gencarnya dilakukan pemerintah hari ini bukan tidak mungkin akan memicu dampak sosial yang negatif di masa depan.

Dalam berita yang Kompas angkat, misalnya, sepanjang 2020 tercatat ada 17 kasus konflik agraria yang berkaitan dengan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini seiring dengan ditekennya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjadi basis bagi percepatan PSN. Hasilnya, banyak keluarga yang terpaksa pindah sebagai akibat dari peralihan lahan untuk kepentingan PSN (Fadly, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun