Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Sejarah Kereta Api di Indonesia: Memahami Masa Lalu untuk Masa Kini dan Masa Depan

27 April 2021   12:16 Diperbarui: 27 April 2021   14:15 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MRT, LRT, KRL Sumber: https://lrtjabodebek.adhi.co.id/

Tahun 1913 merupakan tonggak penting dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia yang ditandai dengan dibangunnya Stasiun Manggarai dengan tujuan untuk menciptakan jalur Interchange yang menghubungkan jalur Barat dan Timur Batavia. Dari sinilah kemudian arsitektur Jalur Kereta Api Lintas Jakarta yang kini lebih dikenal sebagai Commuter Line terbentuk dan terus beroperasi dengan sistem yang nyaris sama. SS sendiri di kemudian hari menjelma menjadi PT Kereta Api Indonesia Persero (PT KAI).

Perkembangan kereta api memasuki babak baru selanjutnya selang sepuluh tahun kemudian. Adalah elektrifikasi jalur kereta di Jakarta, yang dimulai sejak 1923 dan selesai pada 1924, yang bukan hanya membawa Hindia Belanda menuju milestone baru dalam hal perkeretaapian, melainkan juga menjadi fondasi tambahan bagi pengembangan infrastruktur perkeretaapian di Bumi Nusantara. 

Listrik yang disediakan dari wilayah Sukabumi dan Kracak dialirkan ke Gardu Induk Ancol, Jatinegara, Depok, dan Kedungbadak (Bogor). Listrik tersebut kemudian menjadi bahan bakar bagi lokomotif listrik yang dikirim langsung dari Jerman, Belanda, hingga Swiss. Begitu awetnya lokomotif-lokomotif ini, sampai-sampai setelah Indonesia merdeka, lokomotif listrik ini masih dipergunakan. 

Sayangnya, setelah lama tidak ada penggantian unit baru, lokomotif listrik kemudian tergantikan oleh rangkaian KRL buatan Jepang sejak 1976 (Jumardi, et al., 2020) hingga akhirnya penggunaan KRL buatan Jepang ini menjadi sesuatu yang lazim, terutama bagi pengguna Commuter Line.

Kesuksesan dalam membangun sistem perkeretaapian di Batavia dan Pulau Jawa mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mereplikasi hal serupa di pulau-pulau besar lainnya. Di Sumatera Selatan pada tahun 1914 mulai dibangun rute Kertapati, Palembang yang kemudian diteruskan hingga sampai Prabumulih, Muara Enim, dan Lahat yang semuanya selesai pada tahun 1924. 

Sama seperti di Batavia, kendati awalnya ditujukan untuk mengangkut komoditas ekspor, kebutuhan akan moda transportasi penumpang mendorong perluasan fungsi kereta api di Sumatera Selatan. Jalur Palembang -- Lampung secara khusus dapat dipandang mirip dengan jalur Bogor -- Jakarta dalam hal pemanfaatannya. Palembang sendiri merupakan kota penting bagi pemerintah kolonial karena fungsi gandanya sebagai pusat administrasi pemerintah dan juga kota pelabuhan. 

Di Sumatera Selatan sendiri, manajemen perkeretaapian berada di bawah naungan Zuid Sumatra Staatsspoorwegen (ZSS), cabang dari SS. ZSS bertanggung jawab, utamanya, dalam mengelola daerah operasi Palembang dan Lampung. Wilayah Prabumulih pada waktu itu menjadi penghubung antara Lampung dengan Muara Enim, Lahat, dan Lubuklinggau sehingga mobilitas kereta api di wilayah ini tergolong tinggi. Selain rempah, hasil bumi seperti batubara juga hilir mudik melalui jalur ini sehingga penting bagi ZSS untuk mengembangkan jalur kereta api lebih jauh ke pedalaman Sumatera Selatan. 

Salah satu warisan ZSS yang masih terjaga dan berfungsi hingga saat ini adalah Balai Yasa Lahat (dahulu bernama Werkplaats) yang ketika itu difungsikan sebagai bengkel lokomotif dan gerbong barang. Signifikansi pembangunan ini bukan hanya berhenti sampai di situ. Karena kebutuhan tenaga kerja yang besar, banyak kuli dari Jawa Tengah didatangkan dan kemudian menetap serta beranak-pinak di Sumatera Selatan. 

Kendati penggunaan kereta api sudah ditujukan untuk mengangkut penumpang, namun kondisi pemerintahan kolonial pada saat itu menyebabkan segregasi sosial berdasarkan ras turut terjadi di dalam gerbong kereta. Masyarakat pribumi dilarang menaiki gerbong kelas 1, kendati mampu secara finansial, dan pada gerbong yang diperuntukkan untuk mereka terdapat plang bertuliskan "Inlander" (Ravico & Susetyo, 2021).

Memang, tidak semua rute kereta api dibangun dengan latar belakang kepentingan ekonomi. Di Aceh pada tahun 1876, rute kereta api pertama dengan nama Atjeh Tram dibuka oleh pemerintah kolonial dengan maksud untuk menjadi sarana distribusi logistik dan angkutan militer, mengantisipasi gangguan dari gerilyawan. Rute Kutaraja -- Lam Baro merupakan salah satu yang cukup terkenal dengan sebutan "Konsentrasi Line". 

Beberapa rute seperti Lambaro -- Indrapuri pada tahun 1886 mulai dimanfaatkan untuk transportasi umum sebagaimana telah terjadi perluasan penggunaan kereta di daerah lain. Sayangnya, jalur-jalur ini kemudian perlahan tidak lagi beroperasi sejak tahun 1896 seiring dengan munculnya anggapan dari kalangan militer Hindia Belanda bahwa urgensi keberadaan jalur-jalur ini mulai hilang (Ibrahim & Ibrahim, 2020). Terlebih, secara ekonomi, pembukaan rute ini dinilai tidak menguntungkan bagi operator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun