Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Pasar Bukan Lagi Pasar: Renungan atas Arus Modernisasi dan Kemanusiaan

15 Juli 2020   05:34 Diperbarui: 15 Juli 2020   06:03 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan Pasar Tradisional dan Pasar Modern | Sumber: https://www.liputan6.com/

Ketika kita berbicara mengenai pasar dalam keseharian, yang terbayang di benak mungkin adalah gambaran mengenai pasar tradisional dengan segala bentuk khasnya berupa deretan balai dan kios, jalanan becek, bau tak sedap dari tumpukan sampah, dan gersangnya lingkungan tanpa pendingin ruangan. 

Gambaran ini sejatinya kurang dapat mendefinisikan pasar secara umum karena ia sebetulnya hanya mencakup apa yang kita sebut sebagai mayoritas "pasar tradisional" di Indonesia. Pasar secara umum nyatanya hanya sesederhana sebuah bentuk proses transaksi di antara para pelaku ekonomi dengan kebutuhan atau keinginan tertentu untuk dipuaskan (Purwanti dkk, 2012). 

Kita dapat mengganti objek yang dipertukarkan, medium transaksi, dan bahkan mekanisme transaksinya dengan apapun tanpa mengubah esensi dari pasar itu sendiri.

Melalui dikotomi sederhana, kita biasa mengenal dua jenis pasar, yakni pasar tradisional dan pasar modern. Yang pertama dilengkapi dengan ciri-ciri yang sudah disampaikan di atas ditambah dengan praktik tawar-menawar, sedangkan yang belakangan dapat dikenali dari mekanisme swalayan, harga yang tak dapat ditawar-tawar, tata ruang yang lebih rapi dan nyaman, serta kualitas produk yang lebih baik dibanding pasar tradisional.

Arus modernisasi telah mengakibatkan pergeseran preferensi pengunjung yang berakibat pada semakin ramai dan banyaknya pasar modern serta semakin termarjinalkannya pasar tradisional. 

Pemberitaan selama beberapa tahun belakangan memberikan gambaran nyata dari fenomena ini, di mana pasar tradisional pada akhirnya hanya memiliki dua pilihan: mengalihfungsikan lahannya untuk keperluan lain atau membuka diri terhadap modernisasi yang secara cepat atau lambat akan menggerus habis keunikannya.

Kritik terhadap marginalisasi dan alih fungsi pasar tradisional selama ini menyasar aspek ekonomi. Pertama, seperti yang diketahui, di dalam pasar tradisional kita tidak hanya menemukan pedagang dan pembeli yang bertransaksi, melainkan juga aktor-aktor penyangga lain seperti kuli lepas, tukang becak, dan tukang ojek yang turut mengais rezeki dari aktivitas perdagangan di pasar tradisional. 

Berkurangnya jumlah pasar tradisional berikut aktivitas transaksi di dalamnya tentu berpengaruh secara negatif terhadap kesejahteraan para aktor individual ini.

Kedua, tak dapat dipungkiri bahwa pasar tradisional masih memegang peranan vital dalam menghubungkan kluster-kluster ekonomi di daerah, seperti misalnya komunitas petani, peternak, dan nelayan dari berbagai desa, agar dapat melakukan pertukaran dan memenuhi kebutuhan (bisa melalui transaksi menggunakan uang, bisa juga melalui barter). 

Tanpa pasar yang dapat dipenetrasi dengan mudah seperti pasar tradisional, tentu masyarakat di daerah akan kesulitan untuk berkegiatan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun