Mohon tunggu...
Afan Merah
Afan Merah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membahas Soal Rantau

10 Agustus 2017   13:22 Diperbarui: 10 Agustus 2017   13:25 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penjara itu bernama rumah. Bagi sebagian orang menilainya demikian, tapi bagi saya tidak sepenuhnya. Seperti rantang yang didalamnya bersemayam rupa-rupa makanan kesukaan. Makanan yang terjaga dari kontaminasi polusi, kuman dan bakteri. Oleh karenanya, ditutup dengan penutup bergagang hitam kemudian siap dibawa ketujuan. Goyang kesana dan kemari mengikuti alunan gerak kaki kiri dan kanan. Makanan didalamnya tak pelak ikut meriahkan alunan. 

Makanan dalam rantang tetap terjaga. Sampai ditempat tujuan, yaitu kota rantau maka rantang siap dibuka untuk rehat dan santap lezat. Sekali lagi terjaga dan higien sudah tidak perlu diragukan daripada makanan dalam rantang. Oke kita sudahi prolog ini kita bahas sungguh-sungguh dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya soal rantang dan rantau ini. Check it brad!

Ada orang yang melihat tentang kebebasan hidupnya selepas dari 'penjara' bernama rumah. Rumah dengan segenap aturan dan teguran. Belum lagi undang-undang tidak tertulis, apalagi kalau bukan tentang pengalaman orang-orang terdahulu. Hal yang kuno itu masih jadi pijakan di zaman yang sedemikian modern ini. Ada orang yang melihat tentang merantau itu menjadi ajang pembuktian ketika kembali ke kampung halaman. Tidak sampai disitu, tapi juga menjadi ajang membangun brandingdiri edisi terbaru. 

Perkembangan seseorang akan terus mengalami perbedaan selama dia terus menemukan banyak pengalaman baru. Ada orang yang melihat soal merantau itu adalah tempat bertemu rekan/teman/sahabat satu hobi atau satu pemikiran. Keadaannya susah-senang pokoknya maju terus tidak ada keluhan. Dan kontribusi yang sejalan seiya dan sekata, yang padahal sebelumnya nih belum sama sekali match,ibarat main tinder kalau bahasa anak millenial sekarang.

Kemudian ada juga orang yang beranggapan merantau itu ibarat tantangan. Mengeksplore berbagai tempat unik dan mencoba untuk berbagi cerita. Siapa tahu orang terinspirasi dan makin cinta Indonesia, kenapa tidak? Namanya saja siapa tahu, uang yang dia punya fokus disisihin untuk tujuan tempat barunya. Ada orang yang jadiin merantau seperti halnya hijrah nabi saw dari mekah ke madinah. Semakin religius dan taat kepada Allah SWT. Bicaranya dakwah dan diamnya berzikir, masyaAllah, itu pilihan. Model orang seperti ini lagi jadi trend dicari sama wanita kekinian untuk dihalalin. Tidak kelupaan harus mapan juga syaratnya.

 Ada orang yang menjadikan kehidupan rantau adalah bertahan pada kesukaan dunia game. Aktifitas rutin selama di SMP s.d SMA tetap konsisten, yaitu bercumbu dengan dunia per-game-an. Dan tidak sedikit juga dari mereka yang sukses dengan game karyanya sendiri. Kalau kata mereka,"daripada gue mainin game orang lain mending gue buat game sendiri". Ada juga merantau dijadikan proses pembentukan karakter diri. Mulai dari kelola waktu dan finansial begitu disiplin.

 Kerja part time dan bangun pagi serta pulang pagi menjadi patternsampai masa waktu lulus tiba. Waktunya dihabiskan untuk hal-hal yang produktif. Finansialnya digunakan untuk menabung atau investasi. Visioner dan berani mengorbankan masa mudanya untuk sesuatu yang jarang jadi pilihan hidup banyak orang. 

Ada juga yang menjadikan merantau itu untuk menyelami manis dan pahitnya cinta. Untuk yang laki-laki jantan, menaklukkan hati wanita yang berbeda menurutnya adalah  suatu anugerah. Semakin banyak hati-hati yang diselami maka semakin pakarlah dia. Bertahan pada satu pilihan adalah nasib yang tidak dikehendaki, kasihan. Sedangkan untuk yang wanita tak jauh beda, banyaknya laki-laki mengetuk pintu hatinya menambah rasa percaya diri. Beragam pilihan jadi cerita yang membanggakan di perkumpulan sosialitanya. 

Nasib sial bagi mereka adalah ketidakmampuan menolak salah satunya karena semua terlihat begitu sempurna, katanya. Dunia filantropi menjadi keseharian mereka. 

Dan masih banyak lagi gambaran orang-orang merantau. Unik dan jenaka. Setiap pilihan hidup adalah baik karena masing-masing telah siap bertanggungjawab terhadap pilihannya.

Afan Merah

Jakarta, 10 Agustus 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun