Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Guru, Aku Ga Mau Shalat, Aku Ateis!

15 Agustus 2016   18:29 Diperbarui: 16 Agustus 2016   08:22 2650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul tulisan ini bermula dari seorang peserta didik (siswa) yang berdialog dengan saya secara pribadi. Sebut saja namanya Andi siswa kelas X di tempat saya mengajar. Dialog yang terjadi antara saya sebagai seorang guru dengan seorang siswa yang baru saja menyelesaikan rangkaian MPLS (dulu disebut MOS atau Ospek) di sekolah tempat saya mengabdi. Dialog ini menjadi sangat menarik karena merupakan sebuah diskursus teologis, antara anak kelas X SMA (baru saja menamatkan bangku SMP, sekitar usia 15 tahun). Yang juga menambah ketertarikan, sehingga saya terinspirasi bahkan menuliskannya lewat tulisan ini adalah, ketika isi dialog tersebut adalah dialog yang “menggugat keimanan”.

            Kenapa sampai saya sebut dengan istilah dialog yang menggugat keimanan? Sebab saya bertemu (lebih tepatnya dipertemukan) dengan siswa baru yang mengklaim dirinya seorang agnostik bahkan ateis. Ya, bahkan dengan bangganya siswa berusia 15 tahun tadi mendeklarasikan dirinya sebagai seoang agnostik bahkan ateis, di depan kami para guru. Cerita bermula ketika Andi bersama temannya diinstruksikan untuk melakukan shalat Ashar berjamaah, dalam rangkaian MPLS tersebut. Sedangkan bagi siswa Kristen, Katolik dan Hindu (yang ada di sekolah kami) dipersilakan menuju ruang ibadah masing-masing, yang sudah ditunggu oleh guru agamanya masing. Kebetulan sekolah kami sangat concern dengan nilai-nilai keragaman, toleransi dalam bingkai pluralisme.

            Namun tak disangka Andi menolak salah satu rangkaian acara MPLS tersebut, khususnya kegiatan shalat berjamaah di mesjid sekolah. Ketika ditanya mengapa Andi tidak mau ikut shalat Ashar berjamaah, dia menjawab, “Saya agnostik Pak, saya ga mau shalat!”. Waduh! Kaget betul kami mendengarnya (karena ada beberapa kakak OSIS, MPK dan guru yang mendengarnya). Lantas karena saya juga ingin menuju tempat ibadah, saya tinggalkan Andi dengan beberapa kakak OSIS untuk menemaninya di ruang kegiatan. Selesai shalat, seorang guru mendekati saya dan meminta saya bertemu dengan Andi di ruang guru. Saya segera bergegas menuju ruang guru, dan Andi sudah berada duduk di sofa ruang guru yang berwarna coklat itu. Saya melihat Andi bersender, merebahkan badannya yang lumayan tinggi, tapi nampak wajahnya tidak ceria, dia tampak sedang menggerutu.

            Lantas saya hampiri dan segera menyapa Andi. “Andi, kenapa ga mau shalat?” Lalu dia menjawab, “Pak, Aku ga mau shalat, Aku atheis Pak! Aku ga percaya sama Tuhan. Semua agama itu bohong, hanya berperang saja. Cerita tentang agama dan Tuhan itu tidak ada. Aku ga percaya!” Seingat saya demikianlah beberapa kalimat yang keluar dari bibir Andi di sore itu. Kemudian saya bertanya, “Kenapa kamu bilang tadi kalau kamu agnostik terus sekarang kamu bilang kamu ini atheis, yang mana yang bener Ndi? Kamu tau ga apa bedanya agnostik dengan atheis?” Lalu dia menjawab sambil tersenyum, “Ya, jujur sebenarnya Aku atheis Pak, aku ga percaya sama agama dan Tuhan.

“Ohya Ndi, mengapa kamu sebut kalau semua agama itu berperang saling memusuhi? ”Dengan cepat dia menjawab, “Bapak lihat saja di Irak, Suriah ada ISIS yang mengaku Islam tapi membantai, di Myanmar orang Budha membunuh umat Islam, di Amerika Serikat yang beragama Protestan bertindak  rasis pada orang Islam, di Israel dan Palestina umat Islam dan Yahudi saling bunuh!”.

            Mendengar penjelasan itu, lantas saya menanggapi, “Ohhh, itu maksud kamu umat beragama saling bantai. Saya tambah dua lagi ya. Di India Mahatma Gandhi dibunuh oleh penganut Hindu radikal, di Irlandia terjadi perang antara Katolik dan Protestan. Jadi kamu mengartikan kalau agama itu mengajarkan kekerasan, begitu?". Sambil senyum simpul dia mengatakan, “Tuh, bener kan Pak, malahan Bapak nambahin 2 lagi fakta umat bergama itu saling bunuh.” Itulah beberapa penggalan dialog saya dengan Andi yang membuat guru-guru yang hadir di ruangan tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Ada beberapa guru perempuan yang mengucapkan istighfar, bahkan ada yang meminta agar Andi mengucapkan dua kalimat syahadat kembali.

            Jika dilihat dan diamati selama dialog, saya menilai siswa ini adalah siswa yang cerdas, suka membaca dan berimajinasi tinggi. Terbukti dari wawasan dia saat kami berdialog. Namun di sisi lain, nampak juga kekurangan yang menyertainya, anak baik ini sepertinya sangat tertutup terhadap dunia sosial. Artinya anak ini seperti  anak yang suka menyendiri di kamar dan tidak memiliki teman berdiskusi. Setelah kami tanya memang benar, bahwa dia hanya berada di kamar dengan komputer, internet dan games. Sangat jarang bersosialisasi. Bahkan ketika saya meminta dia untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain untuk acara penutupan MPLS, dia malah menolak. “Saya ga suka orang banyak Pak!”. Sambil dengan nada membentak kepada saya dan beberapa guru lainnya.

            Dari penggalan-penggalan cerita dialog kami ini, saya menilai jika Andi suka membaca buku dan browsing tulisan-tulisan bertemakan ketuhanan, teologis bahkan filsafat. Bacaan-bacaan yang dibaca tanpa terlebih dahulu dibimbing oleh guru dan orang tua. Yang terjadi adalah Andi menjadi anak yang berpetualang sendiri secara intelektual dan spiritual. Dia hanya mencoba membaca lantas mengimani apa yang dibaca. Tanpa ada ruang diskursus, debat bahkan kritik. Dia seolah-olah sedang menjadi “The Lone Wolf” dalam dunianya. Saya menganggap Andi punya dunianya sendiri, yaitu kamar, internet, buku dan imajinasinya yang goyah. Bahkan dia tidak mengerti ketika saya mengatakan jika antara “agama” di satu sisi dan “umat beragama” itu jelas berbeda.

            Kemudian beberapa penggalan dialog lainnya antara saya dengan Andi, menjadi lebih bernuansa filosofis dan teologis, ketika Andi mengatakan, “Pak, Bapak tau ga sebenarnya Tuhan itu tidak ada Pak, malaikat juga, surga dan neraka juga.” Mendengar ucapan itu lantas saya berkata, “Sebelum diskusi kita jauh, saya minta sama Andi agar diskusi kita haruslah diskusi yang logis, rasional, konsisten dan bertanggugjawab ya Ndi.” Andi menjawab singkat, “Oh oke Pak!”. “Sekarang saya mau tanya ke Andi, menurut Andi apa itu definisi ADA?” Mendengar pertanyaan saya tadi lalu Andi berpikir sejenak dan menjawab, “ADA adalah kelihatan Pak, bisa dipegang gitu.” Lantas saya bertanya balik, “Ndi, marah dan benci itu ADA ga?” Lalu dengan segera dia mengepalkan tangannya, sambil berteriak kencang. Bagi Andi itulah marah, yaitu ketika tangan terkepal, wajah cemberut dan berteriak. Saya lalu bilang ke Andi bahwa itu bukanlah marah, tapi itu adalah “ekspresi” kemarahan. Bukan marah itu sendiri. Karena ekspresi marah orang itu berbeda-beda. Saya mencontohkan ada orang yang jika marah justeru dia diam saja. Intinya marah, sayang dan cinta itu adalah rasa, yang tidak dapat dilihat, dipegang, didengarkan atau tak dapat dideteksi oleh panca indera, tetapi rasa tersebut ADA! Andi diam mendengarnya.

            Kemudian saya menjelaskan bahwa antara Pencipta dengan yang dicipta itu berbeda. Saya mencontohkan tisu sambil saya pegang. Tisu dibuat oleh mesin pabrik yang dioperasionalkan oleh manusia. Apakah tisu (sebagai yang dicipta) dengan manusia (sebagai yang mencipta) itu sama? Lalu Andi menjawab tegas, “Tidak Pak!Ya beda dong”. Andi lalu sepakat bahwa yang mencipta itu berbeda dari yang dicipta. Dia juga mengerti dan mengangguk ketika saya mengatakan bahwa ADA itu tidak melulu sesuatu yang dapat dideteksi oleh panca indera, karena indera sangat terbatas sifatnya. Salah satu kategori ADA adalah yang disebut dengan SUPREME BEING alias Sang Omni Present atau Yang Maha Ada, Sang Pencipta ADA dan TIDAK ADA. Bahkan DIA sudah ADA sebelum kata ADA dan TIDAK ADA itu ADA. Andi terus bilang, “Pak, saya pusing Pak, saya ga ngerti apa yang Bapak jelasin itu!” Kemudian saya mengatakan bahwa dialog ini akan kita lanjutkan nanti. Sekarang sudah waktunya pulang. Andi nampaknya suka dengan diskusi ini, sebelum beranjak pergi dia mengatakan jika dia ingin diskusi lagi dengan saya besok.

            Esok hari tiba-tiba seorang guru agama Islam menampilkan foto di grup WhatsApp guru, sebuah sobekan kertas Al-Quran dan Al-Quran yang terlempar di depan pintu kelas. Kemudian guru senior tersebut menjelaskan di grup jika Andi tidak mau membaca Quran dalam pelajaran agama Islam. Lagi-lagi Andi mengaku sebagai seorang ateis kepada guru agamanya, dan berteriak-teriak di kelas. Bahkan dia menyobek dan melemparkan kitab suci tersebut. Serentak dari kelas terdengar suara “Andi, astaghfirullaahhaal ‘adzhiimm!” Guru tersebut menceritakan kejadian tadi di kelasnya Andi. Guru agama Islam ini bercerita, sambil menangis, lalu dia mengusap kepala Andi sambil berdoa, “Ya Allah, semoga Andi segera mendapat hidayah-Mu. Semoga kami sabar dalam membimbing ananda kami ini.” Dijawab dengan teriakan amin oleh teman-teman Andi sekelas.

            Semua guru sudah tahu perihal sikap Andi ini di sekolah. Kami juga mafhum dan terus melakukan pendekatan yang persuasif kepadanya. Juga berdialog dengan orang tua yang bersangkutan. Setelah dikroscek ternyata benar bahwa anak baik ini suka menyendiri di kamar, berselancar di internet dan suka baca buku atau tulisan bermuatan agama, teologis, terorisme dan filsafat. Andi memiliki ruang imajinasinya sendiri. Dia bebas membaca dan berimajinasi tentang apa yang dia baca, yang dia pahami tanpa ada orang yang  membimbing. Walaupun sedikit perubahan diceritakann oleh guru agamanya, dalam pertemuan berikut Andi sudah mau membaca dan menulis Quran dengan sangat baik (walaupun sambil cemberut membacanya). Ini adalah kemajuan yang sangat berarti.

Mungkin saja orangtuanya adalah pekerja keras, sehingga tak lagi punya waktu luang untuk sekedar bercengkrama dan berdialog dengan sang anak. Anak 15 tahun ini dibesarkan oleh website dan internet. Di usianya yang baru 15 tahun ini dia diasuh oleh buku-buku dan bacaan filsafat, tanpa ada dasar yang kuat. Bahkan dalam pengakuannya Andi berasal dari salah satu SMP Islam terkenal di Jakarta. Waktu di SMP ketika ada pelajaran agama Islam dan kegiatan rutin shalat berjamaah, Andi mengaku bahwa semuanya dia lakukan dengan pura-pura.

Andi juga belum memiliki pemahaman filsafat yang utuh, terbukti ketika saya bertanya tentang pemikiran Karl Marx, F. Engels, Nietzsche dan Madzhab Frankfurt. Andi lantas menggelengkan kepala, pengakuan jujur bahwa dia tidak tahu orang-orang tersebut. Saya sengaja menanyakan beberapa filsuf di atas, karena pada umumnya yang suka mengklaim dirinya seorang ateis biasa setelah membaca tulisan-tulisan Marx dan Nietzsche tentang agama dan Tuhan. Seperti tulisan Sang pemikir nihilisme Nietzsche tersebut berjudul “God is Dead” atau ucapan seorang Marx “Agama adalah Candu”. Pasti akan menarik bagi anak-anak usia remaja yang sedang mencari jati diri.

            Bagi saya, kondisi psikologis anak ini belum mapan. Walaupun secara akademis nilainya cukup baik. Tetapi Andi membutuhkan orang-orang terdekat disampingnya. Yang memberi perhatian lebih kepadanya. Sikap spiritual dan sikap sosial Andi masih bermasalah. Inilah yang mesti dihadirkan dalam diri dan lingkungan Andi sekarang. Ketika saya mengajar di kelas, materi yang saya sampaikan cepat direspon olehnya. Bahkan saya mengkategorikan Andi adalah siswa yang memiliki wawasan sejarah dan umum yang sangat bagus dibanding teman-temanya. Andi mesti mndapatkan reorientasi spiritual dan psikologis kembali. Transfer nilai-nilai kehidupan yang selama ini diperoleh secara independen, tetapi absurd, mesti dikembalikan secara terarah dan disesuaikan dengan psikologi perkembangan seorang anak yang baru berusia 15 tahun.

             Akhirnya kami para guru dengan kompak mengingat doa guru agama tadi, “Ya Allah, semoga Andi segera mendapat hidayah-Mu. Semoga kami sabar dalam membimbing ananda kami ini. Dan ini merupakan sebuah tanggungjawab moral bagi kami, sebagai gurunya Andi di sekolah, sebuah pembelajaran kehidupan yang penuh arti, sesuai dengan adagium dari Seneca yang terkenal itu “Non Scholae Sed Vitae Discimus”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun