Mohon tunggu...
Satrio Adjie Wibowo
Satrio Adjie Wibowo Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menulis itu menenangkan pikiran dan nurani yang nyeri

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membaca Logika Oposisi Biner dalam Kebijakan PPKM

28 Juli 2021   20:23 Diperbarui: 28 Juli 2021   21:05 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak terasa negeri kita dilanda Pandemi selama kurang lebih 16 bulan lamanya. Suatu hal yang bisa kita sebut peristiwa baru dalam sejarah wabah dunia. Memang bukan Covid-19 semata yang menjadi bencana global tetapi gema pemberitaan dan dampak multidisiplin virus ini mampu menyedot perhatian warga planet bumi.

Virus yang awalnya terdeteksi dari daerah Wuhan tersebut telah menjadi momok mengerikan. Pemerintah sampai rakyat dibuat pusing dan bingung atas sikap yang seharusnya mereka perbuat.

 Ketidakmampuan bersama menjadi ancaman nyata eksistensi suatu negara karena disini kedaulatan menjadi taruhannya. Pemerintah yang tidak berhasil menanggulangi Pandemi besar kemungkinan akan dinilai sebagai negara gagal versi baru dari kategori Francis Fukuyama.

Mari kita lihat kebijakan pemerintah Indonesia selama Pandemi. Masih segar dalam memori tentang istilah PSBB sampai PPKM. Apapun itu sebutannya, tetap mengacu pada pelaksanaan dari UU Karantina Tahun 1946 yang wajib dilakukan terlebih-lebih kondisi darurat seperti Pandemi sekarang. Meski bentuk implementasi dari UU Karantina tersebut erat kaitannya dengan istilah "Lockdown" namun pemerintah enggan mengambil istilah tersebut karena akan menghasilkan sederet konsekuensi yang bisa jadi memperburuk neraca keuangan negara.

Beban ongkos yang besar akan menghantui pemerintah apabila istilah Lockdown digunakan resmi. Negara tetangga seperti Malaysia pun mengeluarkan banyak biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup warga negaranya supaya tetap berada di rumah. Memang Lockdown lebih ketat dari PPKM karena mobilitas sosial direkayasa sedemikian rupa agar tidak terjadi penularan virus. 

Tingkat interaksi sosial warga ditekan mencapai titik minimal untuk mencegah meluasnya penyebaran virus akibat perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Metode Lockdown juga berbeda-beda hasil di tiap lapangan, Malaysia masih belum dapat mengatasi krisis Pandemi meski Lockdown diberlakukan resmi namun jika kita melihat Australia dan Selandia Baru kini mereka sudah bisa dikatakan menyambut era baru tanpa masker. 

Kembali ke regulasi PPKM, Presiden Jokowi per 25 juli 2021 secara resmi memperpanjang PPKM dengan sebutan baru yakni PPKM Level 4. Dengan area terdampak kebijakan yang lebih luas tidak semata Jawa dan Bali. Secara diatas permukaan, kebijakan ini tidak lain adalah kelanjutan dari program penanggulangan Pandemi oleh pemerintah. 

Namun, dengan beberapa relaksasi untuk memberi denyut roda perekonomian dapat stabil kembali. Sebenarnya para praktisi kesehatan agak keberatan dengan langkah pemerintah karena khawatir bentuk pelonggaran justru disalahgunakan dan akhirnya kembali memicu gelombang penularan virus kembali, terlebih hadirnya varian Delta yang lebih memiliki peluang mudah menyebabkan seseorang terpapar. 

Mirisnya juga, tingkat kasus Positive Rate(Tingkat Penularan Infeksi) masih menunjukkan angka kategori tinggi. Maknanya kita gagal mencegah terjadinya penularan. Kita lebih fokus pada jumlah angka pasien sembuh padahal tindakan preventif lebih utama dari pemulihan.

Disini kita melihat ada kecenderungan pemerintah dalam merespon persoalan dengan memakai sudut logika oposisi biner. Pemerintah melakukan hal sebaliknya dari apa yang seharusnya lebih diutamakan. Dalam persoalan Pandemi, harga nyawa keselamatan warga negara adalah mutlak tidak boleh ditawar-tawar, maka menjaga mereka agar tidak terpapar penyakit justru lebih penting dari paket kebijakan lainnya. Agaknya pemerintah terlalu percaya diri dengan telah dimulainya proses vaksinisasi massal. 

Namun ada yang lebih krusial, yakni kaidah internasional yang bernama 3T (Testing, Tracing, Treatment). Meski sudah ada vaksin, pemerintah tidak boleh kendor dalam proses test SWAB/Antigen. Dengan dipertahankannya proses ini maka penulis optimis dalam jangka waktu realistis Pandemi bisa berakhir. 

Mengutip pernyataan Dr. Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia, "Saya prediksi Pandemi di Indonesia akan berakhir pada akhir tahun depan atau Desember 2022, dengan catatan proses vaksinisasi tetap berjalan dan tak lupa juga proses 3T dipertahankan". Penulis berharap semoga Indonesia bisa segera keluar dari krisis Pandemi dan segera pulih seperti semula karena kita rindu saat-saat sebelum Pandemi datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun