Mohon tunggu...
Denovan Satriandika
Denovan Satriandika Mohon Tunggu... Penulis - Pundit Ala Ala

No Hoax

Selanjutnya

Tutup

Bola

Catatan Denovan: Perancis 2018, Sebuah Representasi dari Regenerasi dan Kedewasaan

16 Juli 2018   10:58 Diperbarui: 16 Juli 2018   11:01 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perancis berhasil menjadi yang terbaik di dunia, Kroasia si kuda hitam yang sedang viral ini tak kuasa menahan Les Blues. Skor 4-2 ini membuat Perancis mengulang memori 20 tahun yang lalu saat menjadi juara dunia.

Jika di tilik lebih jauh maka kesuksesan mereka di 2018 ini merupakan hasil dari proses panjang. 10 tahun silam di Piala Eropa 2008, Perancis yang di huni pemain senja macam Patrick Vieira, William Gallas dan Claude Makelele  gagal lolos dari fase grup kalah bersaing dari Italia, Belanda bahkan Rumania. 2 tahun kemudian di Piala Dunia 2010 pun dengan ragam intrik seperti sabotase pemain terhadap pelatih Raymond Domenech.

Kala itu Perancis di paksa menjadi juru kunci grup A setelah gagal bersaing dengan Mexico, Uruguay dan tuan rumah Afrika Selatan. Paska kiamat kecil tersebut mereka tersadar bahwa generasi mereka telah habis, mereka terlalu larut dalam euforia juara dunia 1998 dan juara Eropa 2000 sehingga abai jika regenerasi adalah hal penting dalam sebuah dinasti sepakbola.

2011 mereka berbenah hasilnya di Piala Dunia U-20 mereka melahirkan bintang baru seperti Antoine Griezmann. Puncaknya terjadi di tahun 2013 di ajang yang sama dimana mereka berhasil menjadi juara dunia U-20 dengan Paul Pogba, Alphonse Areola, Samuel Umtiti dan Florian Thauvin menjadi bintang utama, secercah harapan muncul jika tim ini punya masa depan apalagi mereka bakal menjadi host Piala Eropa 2016. 

Ajang Piala Dunia 2014 pun seakan menjadi gladi resik bagi generasi baru Perancis, walau gagal juara setidaknya mereka bermain cukup baik meski akhirnya gugur di fase perempat final. 

Piala Eropa 2016 pun digelar targetnya jelas juara disamping karena menjadi tuan rumah. Les Blues kala itu pun mulai disebut generasi emas karena bintang baru seperti Griezmann, Pogba dan Umtiti di padu padankan dengan pemain senior seperti Hugo Lloris, Laurent Koscielny, Patrcice Evra dan Dimitri Payet. Mereka bermain menghibur, gol banyak mereka ciptakan, Griezmann topskor bahkan Jerman si juara dunia 2014 pun mereka kalahkan di semifinal sayangnya mereka tumbang di final, gelar pun lepas ke tangan Portugal.

Didier Deschamp yang di beri waktu yang cukup panjang untuk membangun tim ini mungkin heran bagaimana bisa skuad dengan materi bintang seperti ini, bermain di negara sendiri plus bermain menyerang tapi masih saja belum memenangkan apapun, Deschamp lupa jika efektifitas merupakan salah satu variabel penting guna memenangkan piala, semewah apapun skuad kamu, semenyerang apapun tim kamu, seberapa banyak passing yang kamu buat, seberapa banyak penguasaan bola yang kamu miliki akan percuma jika kamu tidak efekfif di depan gawang karena dalam sepakbola pemenangnya adalah tim yang mencetak gol lebih banyak dari lawan. 

Jelang Piala Dunia 2018 Deschamp kembali berbenah, skuad yang di bawa ke Rusia tidak lagi melulu soal bintang dia sadar bahwa tim ini harus di isi oleh skuad yang efektif dan sesuai pakem dia alhasil bintang seperti Alexander Lacazette, Layvin Kurzawa, Anthony Martial, Adrien Rabiot, Aymeric Laporte, Tiemoue Bakayoko hingga Hisam Ben Yedder tidak sertakan dalam 23 skuad di Piala Dunia 2018. 

Saya pribadi pun awalnya heran bagaimana mungkin nama nama tersebut di gantikan oleh sosok seperti Benjamin Pavard, Lucas Hernandez, Blaise Matudi bahkan Olivier Giroud. Setelah Piala Dunia 2018 berjalan saya pun mulai paham apa yang di inginkan oleh Deschamp, dia tak lagi mementingkan bermain indah, penguasaan bola dan banyak gol, Deschamp hanya ingin disiplin dalam bertahan, efektif di depan gawang, menang dan juara mungkin se simpel itu paradigma yang hendak Deschamp bangun. 

Hasilnya mulai terlihat walau hanya mencetak 3 gol di fase grup namun Perancis keluar sebagai juara grup tanpa kekalahan dan hanya kemasukan 1 gol saja, di fase gugur walau Argentina membobol mereka sebanyak 3 kali tapi Perancis tetap lolos karena mereka mencetak 4 gol kemudian Uruguay dan Belgia yang terkenal dengan militansinya mereka singkirkan karena lawan tidak berhasil menembus gawang mereka akibat displinnya lini belakang dan efektifnya mereka dalam menyerang.

Puncaknya terjadi di final semalam, bayangkan saja dengan mencetak 2 gol, bermain gigih, dan memiliki 61 persen penguasaan bola namun Kroasia tetap gagal menjadi juara, hal tersebut sekali lagi terjadi karena Perancis bermain relasitis dan efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun