Mohon tunggu...
Dilan Imam Adilan
Dilan Imam Adilan Mohon Tunggu... Dosen - Lelaki Biasa

Suka menulis dan minat membaca. Dosen di Fakultas Ilmu Sosial-Politik Universitas Nurtanio Bandung. Founder Lajnah Intelektual Muda Persis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Dilan yang "Asli" Bicara Soal Dilan 1990

8 Juli 2021   21:47 Diperbarui: 8 Juli 2021   23:12 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di mulai dari sebuah inbox facebook di awal Februari 2014 ketika saya masih menginjak semester 7 perkuliahan, seorang teman mengirimkan 'photo cover novel Dilan' besutan Pidi Baiq. Dia bilang, "kamu teh, yang bikin novel ini bukan?" saat itu novel Dilan belum begitu terkenal dan belum menjadi bahan perbincangan banyak orang (viral). Namun oplah penjualan nya terbilang sukses, di Gramedia saja Novel Dilan ini masuk kategori novel Best Seller. Sampai akhirnya, ada seorang teman perempuan (yang bisa dibilang fans saya saat itu whuehehe) menghadiahi novel Dilan itu. Dan hanya dalam jangka waktu tiga hari, novel tersebut habis dibantai. Entah magic apa yang digunakan Pidi Baiq, sampai membuat pembacanya tak bisa berhenti membacanya. Untuk memberikan penilaian atas "sosok Dilan" dalam novel tersebut, tentu tidak bisa menggunakan satu sudut pandang saja. Apakah karakter Dilan disana seorang anak gengster pure yang romantis dan bersikap kesatria terhadap wanita yang disukainya Milea? dan menjadi sosok idaman bagi remaja-remaji saat itu. Idealitas yang ditampilkan di novel Dilan sebenarnya sejalan juga dengan sisi hitam nya. Apakah konteks ketika itu kelompok gengster, merupakan bagian dari aktivitas negatif anak muda ? ataukah menjadi bagian dari kultur urban anak muda saat itu? Apakah mungkin seorang anak gengster juga merupakan seorang maniak baca, sampai Tafsir Al Azhar karangan Hamka pun dia lahap? pertanyaan-pertanyaan kritis yang bermunculan setelah membaca novelnya. Menunjukan bahwa penulis Ayah Pidi Baiq sedang bermain kata-kata dengan fantasi para pembacanya, mengajak berfikir filosofis, kritis namun juga dialektis dengan realitas yang ada. Kita sebut buku-bukunya yang lain semisal; Drunken Monster, Drunken Molen, At Twitter, dan Al Asbun selain serial novel Dilan yang terbit beberapa jilid (yang terkesan ceritanya dipaksakan "hanya untuk" meraup histeria remaja-remaji dari ledakan novel seri pertamanya sebagai pasar potensial, tujuannya ya mempertebal  dompet Ayah dan tabungan nya untuk membahagiakan tim nya dunia-akhirat whuehehe). Dan pada tahun 2015, saya pun membeli (karena novel sebelumnya diberi) buku-buku Pidi Baiq tersebut di Gramedia kota Medan kebetulan saya dinas di Hamparan Perak Sumatera Utara saat itu. Jebakan-jebakan yang disiapkan surayah pada para pembaca di bukunya, lagi-lagi menjerat akal untuk berfikir sejernih-jernihnya. Maka dari berbagai buku yang surayah karang, sebenarnya ada satu pertalian ide yang sambung-menyambung. Ide-ide liar, dimuat dalam karangan bebas berkarakter namun tetap dengan pesan moral "terselubung".

Kembali pada topik tentang Dilan itu sendiri, karena saya tidak pernah ke bioskop satu kalipun selama hidup. Saya hanya membaca versi novel nya saja, karena saya yakin orisinalitas dan kejujuran Surayah untuk menampilkan Dilan sebagai dirinya dalam novel tersebut. Saya anggap berhasil. Dan karakter Dilan -Dilanku tahun 1990, di novel tersebut pada batas-batas tertentu baik penceritaan romantisme dan bumbu-bumbunya ( adegan,ucapan, dan ilustrasinya) dianggap aman terutama bagi kalangan sekuler atau masyarakat pada umumnya. Karena saya sendiri, sebagai seseorang yang tumbuh dalam lingkungan religius dan besar di "kobong" atau pondok pesantren melihat Dilan, dalam segi karakter bisa dikembangkan untuk dicitrakan secara positif. Selain apa yang saya urai sebelumnya di atas, saya sangat yakin "dampak besar" dari novel tersebut untuk generasi muda. Bahwa bersikap kesatria, tanggung jawab, maniak membaca, dan kritis dalam melihat realitas itu jauh lebih penting dari sebatas hiburan; romantisme dan kisah percintaannya, itu menurut saya. Walhasil memang novel tersebut adalah novel romantis, sebenarnya tidak bisa di otak-atik untuk sesuatu yang :bernilai (kecuali rupiah mungkin) karena tujuannya adalah hiburan.

Banyak pula kisah unik yang saya alami, karena nama asli saya adalah 'DILAN' lahir di Bandung tahun 1992. Ketika saya di Bandara atau di tempat umum, ada saja orang yang iseng 'Dilan, dimana Milea atau ada Milea?' haha. Citra DILAN sebagaimana penggambaran novelnya, adalah milik sang penulis atau surayah (Pidi Baiq). Bisa saja, sebuah kisah falsafati representasi dari kelabatan imajinasi dan ide-ide revolusionernya, ataupun bisa jadi pengalaman hidup beliau.hehe Terlepas dari kontroversi, tafsiran netizen, klaim yang beredar, terkait siap[a sebenarnya DILAN-Dilanku 1990. Saya sendiri sebagai seorang laki-laki bernama Dilan Asli, atau Dilan Imam Adilan. Hanya ingin sedikit menyampaikan, untuk membuat "sosok" itu sukar dan sulit. Meskipun sosok itu imajinatif atau fiktif belaka. Namun, ada karakter yang bisa dibentuk dari sosok tersebut menjadi sumber inspirasi, dan contoh yang baik untuk dapat diterapkan dalam kehidupan. Tetaplah menjadi Dilan yang otentik! suatu saat semoga juga mampu menginspirasi dan menjadi contoh yang baik! Terimakasih. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun