Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Bakrie

Movie and Series Enthusiast | CGV Ambassador Batch 2 | Photomatics Campus Ambassador Batch 3 | Part of CGTS Universitas Bakrie | Founder Korean Enthusiast Community | Movie Reviewer at SeeNFeel & GAC Movies | Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review "Perang Kota", Potret Trauma, Cinta, dan Perjuangan di Masa Pascakemerdekaan

27 April 2025   10:55 Diperbarui: 28 April 2025   07:48 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Perang Kota, sumber foto: instagram.com/@cinesurya

Dalam beberapa tahun terakhir, film bertema perang atau kemerdekaan nyaris absen dari industri perfilman Indonesia yang kini didominasi horor dan drama. Kehadiran Perang Kota, film terbaru arahan Mouly Surya, menjadi angin segar yang membawa kita kembali merenungi masa-masa genting pascakemerdekaan Indonesia.

Diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Perang Kota tak sekadar merekonstruksi sejarah, tetapi juga menyoroti kompleksitas psikologis manusia dalam situasi perang. Film ini pertama kali diputar di International Film Festival Rotterdam pada Februari 2025 dan merupakan hasil kolaborasi dengan Hubert Bals Fund serta Purin Pictures.


Berlatar di Jakarta tahun 1946, film ini mengikuti Isa (Chicco Jerikho), seorang mantan pejuang yang kini menjadi guru sekolah dasar. Dihantui trauma masa lalu, Isa kembali terlibat dalam konflik bersenjata melawan tentara Belanda. Bersama Hazil (Jerome Kurnia), murid sekaligus rekan seperjuangan mudanya, Isa menghadapi berbagai cobaan, termasuk pergulatan batin akibat intrik pribadi yang merusak kepercayaannya.

Berdurasi 1 jam 59 menit, apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Yuk simak, ini ulasannya!

Cerita yang Intim Namun Terjebak Dalam Alur yang Lambat

Chicco Jerikho sebagai Isa dan Jerome Kurnia sebagai Hazel dalam film Perang Kota. Sumber foto: Cinesurya/Starvision
Chicco Jerikho sebagai Isa dan Jerome Kurnia sebagai Hazel dalam film Perang Kota. Sumber foto: Cinesurya/Starvision

Perang Kota menghadirkan narasi yang lebih intim ketimbang epik sejarah besar. Fokus cerita pada tokoh sipil alih-alih militer resmi (seperti Tentara Keamanan Rakyat) menawarkan pendekatan yang realistis dan menyentuh. Namun, meski memiliki potensi dramatis besar, jalan cerita terasa berbelit-belit dan ritmenya cukup lambat, membuat beberapa bagian terasa membosankan bagi penonton.

Konflik batin Isa dan dinamika cinta segitiga yang dihadirkan sebetulnya berpotensi kaya emosi, tetapi penggaliannya kurang dalam sehingga sulit membangun ikatan emosional kuat dengan penonton.

Teknis Produksi yang Mengesankan

Chicco Jerikho sebagai Isa dan Jerome Kurnia sebagai Hazel dalam film Perang Kota. Sumber foto: Cinesurya/Starvision
Chicco Jerikho sebagai Isa dan Jerome Kurnia sebagai Hazel dalam film Perang Kota. Sumber foto: Cinesurya/Starvision

Dari sisi teknis, Perang Kota sangat mengesankan. Set desain, kostum, tata suara, hingga pilihan aspek rasio 4:3 berhasil membangun atmosfer Jakarta era 1946 yang autentik dan immersive. Sinematografinya pun memanjakan mata dengan komposisi gambar yang artistik. 

Adegan aksi ditampilkan secara brutal dan efektif, memberikan intensitas yang terasa nyata tanpa glorifikasi berlebihan. Secara keseluruhan, kualitas produksi film ini patut diacungi jempol dan layak disandingkan dengan film-film sekelas festival internasional.

Ketidaksesuaian Judul dengan Isi Cerita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun