Mohon tunggu...
Muhammad Satria
Muhammad Satria Mohon Tunggu... Penulis - Menambah Pengalaman dengan Menulis

Saya menulis apa saja yang saya harap bisa berguna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Dosa" Menyelak

1 September 2019   02:07 Diperbarui: 1 September 2019   02:15 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo credit: republika.co.id

Masih teringat - dan rasanya akan terus ada di benak saya - peristiwa sepuluh tahun lalu kala saya mengikuti acara sunat massal di sebuah kantor kecamatan. Bermodalkan sebuah pesan singkat dari bibi, saya ajak bapak untuk menemani.

Sebenarnya saya sempat menolak, namun respon bapak yang terkesan masa bodo - tidak ada usaha sama sekali untuk membujuk - justru membuat saya berpikir, "Eh tapi kalau nggak sekarang, kapan lagi?" Terlebih saat itu saya sudah duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar, sehingga rasa malu serta rasa-rasa lainnya bercampur dan terakumulasi menjadi sebuah keberanian - anggap saja cerita orang tentang sunat seperti digigit semut itu benar.

Hari itu saya mengenakan pakaian yang biasa saja - baju koko putih, sarung, serta kopiah berwarna senada -, begitu pun bapak - kemeja dan celana jeans yang entah warnanya apa.

Kami berangkat selepas pukul enam pagi. Jarak yang tidak begitu jauh - hanya tiga kilometer sepertinya - membuat kami santai saja. Di atas bebek besi keluaran Jepang tahun 2004, saya dan bapak bercengkerama seputar 'mimpi buruk' kebanyakan anak-anak ini. Persis kata orang, kata bapak juga sunat hanya seperti digigit semut.

Sepuluh menit berkendara, kami tiba, namun justru di depan rumah bibi. Sempat bingung diri ini - "loh, kok kesini? Ah, semoga saja sunat massal ini tidak jadi." Rupanya, bapak mengambil formulir pendaftaran. Hufft, pupus sudah harapan.

Terus terang, meskipun saya katakan saya berani, ada juga secercah harapan akan batalnya acara ini. Maksud saya, undangan acara besar hanya lewat sebuah pesan singkat? Gurau ini?! Hmm, nyatanya tidak.

Kami tiba di kecamatan kala matahari sudah mulai menyengat - yang pasti hampir tepat pukul tujuh pagi. Di sana saya lihat banyak sekali manusia, betul-betul banyak. Pikir saya, paling hanya puluhan orang. Nyatanya, ratusan!

Banyak keluarga besar yang ikut mengantar. Satu anak bisa diantar tujuh sampai delapan orang. Saya sih hanya berlima - kakek, nenek, dan adik menyusul nantinya. Namun keramaian seperti itu justru semakin menambah keberanian, karena saya tidak merasa akan 'dieksekusi' sendirian.

Saya duduk di tengah -tengah mereka. Saya lihat sekitar. Tenda besar berwarna putih dipasang di atas kami. Kursi-kursi yang disediakan untuk kami pun dihias, tidak asal saja. Ondel-ondel barang tentu ada. Di belakang kami juga banyak galon berisi minuman soda cuma-cuma. Tak ketinggalan penjual mainan, balon, dan sebagainya semakin menambah semaraknya suasana.

Selepas sambutan dari camat setempat serta penyelenggara acara, lima per lima nama mulai dipanggil. Berhubung saya mendapat nomor antre mendekati tiga digit, saya harus menunggu cukup lama. Selama itu pula, saya terus-terusan kepingin buang air kecil. Gugup tentu penyebabnya. Seingat saya, setelah buang air kecil yang ketiga, barulah saya mendapat giliran untuk disunat beserta empat anak lainnya.

Setibanya kami di depan sebuah ruangan yang entah bagaimana dengan apiknya disulap menjadi ruang operasi, kami diminta duduk di sebuah bangku panjang terlebih dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun