Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengawasan Dana Desa yang Tersandera

19 April 2016   19:29 Diperbarui: 19 April 2016   19:40 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: (kompas.com)"][/caption]Pemerintah kembali mengucurkan Dana Desa dari Maret hingga Agustus 2016. Dana desa tersebut merupakan suatu bentuk desentralisasi dalam bidang fisikal oleh pemerintah pusat. Besarnya penerimaan dana desa tersebut, membuat banyak dusun ingin memekarkan diri menjadi desa, selain dinilai karena sanggup menjadi desa yang mandiri, anggaran untuk desa tersebut membuat tertarik banyak pihak untuk pemekaran suatu desa.

Namun kita tidak berbicara soal pemekaran desa, akan tetapi kita berbicara terkait pengawasan dana desa di masing-masing desa yang ada di Indonesia. Di mana masih banyak sekali terjadi suatu budaya koruptif maupun tindakan maladministratif oleh aparat desa dalam penggunaan dana desa.

Saya yang juga menjadi Koordinator Umum Jaringan Muda Antikorupsi (JaMAK) di Nusa Tenggara Barat (NTB) cukup perihatin dalam melihat fenomena budaya koruptif yang ada di Desa dalam pengelolaan dana desa. Sebenarnya justru adanya Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa ini diharapkan akan secara efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi level desa, karena secara langsung menyentuh ke desa.

Namun justu di wilayah NTB, banyak sekali Kepala Desa yang terjerat kasus korupsi ADD maupun dana desa lainnya. Hal ini tidak semata karena memang budaya koruptif asal pada pelaku, namun juga karena ketidaktahuan untuk penggunaan dana desa sehingga kerap terjadi penyimpangan.

Keuntungan bagi masyarakat desa, tentu akan gampang mengawasi realisasi dana desa tersebut, karena sangat dekat sekali dengan masyarakat, dan masyarakat juga bisa mengawasi langsung realisasi pembangunan desa sesuai Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrembangdes).

Dari Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Desa maupun Pejabat Desa, sangat mudah terditeksi realisasi pembangunan, pertanggungjawaban dan keuangan desa tersebut. Karena dana desa merupakan informasi publik, masyarakat juga bisa melihat perencanaan pembangunan desa dan realisasi pembangunan itu sendiri.

Polemik Pengakan Hukum

Namun, ketika masyarakat melakukan audit independen terkait penggunaan dana desa, dan menemukan indikasi korupsi atau maladministratif terhadap penggunaan dana desa, akan menjadi problema baru dalam penegakan hukum terkait penyimpangan tersebut.

Di beberapa kasus yang ada di NTB terkait penegakan hukum terhadap penyimpangan dana desa, hanya sedikit yang diproses oleh Kejaksaan. Apa alasannya? Jawabannya karena jika Kejaksaan mengusut kasus dugaan korupsi ADD, maka akan muncul suatu pribahasa yang mengatakan “lebih besar pasak daripada tiang,” mengapa demikian? Perlu diketahui bahwa dana tingkat penyidikan untuk mengusut kasus tersebut lebih dari Rp. 200 juta, bagaimana jika dugaan korupsinya hanya mencapai Rp. 100 juta, maka tentunya negara akan mengeluarkan lebih besar dari dana yang dikorupsikan tersebut.

Biaya yang terbesar biasanya digunakan untuk menyewa auiditor independen dalam mengusut kasus tersebut, belum lagi biaya Pengumpulanh Bahan Keterangan (Pulbaket), dan lain-lain. Sehingga ini yang menjadi keengganan untuk mengusutnya. Padahal jelas dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo UU 20/2001), berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai pengujian UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), bahwa dalam UU PTKP dikonstruksikan dalam bentuk formil (delik formil) bukan delik materiil, sehingga tidak perlu memperlihatkan kerugian negara yang timbul ataupun niat jahat pelakunya (mens rea), namun dikedepankan perbuatan tersebut telah masuk dalam unsur-unsur yang ada dalam delik korupsi itu sendiri. Sehingga tidak perlu melihat kerugian negara yang ditimbulkan, namun berpaku pada unsur-unsur delik yang dilanggar, apakah telah memenuhi atau tidak, untuk bisa ditangani.

Bahkan di Desa Bunkate, Lombok Tengah, Kejaksaan tanpa pernah melakukan BAP terhadap Saksi Pelapor, maupun gelar perkara terbuka, telah melimpahkan kasus tersebut kepada Inspektorat, dengan alasan kerugian negara di bawah Rp. 10 juta. Padahal Kejaksaan sama sekaili tidak pernah melakukan gelar perkara terbuka, sehingga masyarakat dapat mengetahui hasil audit yang pasti dari Kejaksaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun