Mohon tunggu...
The Sas
The Sas Mohon Tunggu... Seniman - Si Penggores Pena Sekedar Hobi

Hanya manusia biasa yang ingin mencurahkan apapun yang ada dalam isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jose Mourinho: Masihkah The Special One?

24 April 2021   16:23 Diperbarui: 24 April 2021   16:26 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jose Mourinho - Sumber: Wikipedia

Tentu Mourinho bukanlah tipe pelatih yang nyaman dan berpuas diri dengan satu klub. Usai meraih segalanya di Italia, ia melanjutkan tantangan baru dengan menerima tawaran dari raksasa Spanyol, Real Madrid pada 2010.. Disana sudah menunggu seteru abadi, Barcelona yang tengah ganas-ganasnya dengan gaya Tiki Taka bersama Pep Guardiola. Semasa kepemimpinan Mourinho di Madrid, tensi El Classico begitu tinggi (masih ingat ketika ia mencolok mata Tito Vilanova, asisten pelatih Barca saat itu?). Saking panasnya di lapangan dikhawatirkan terjadi perpecahan di Timnas Spanyol. Tiga tahun di Negeri Matador, Mourinho mampu mempersembahkan 3 gelar, yakni: Copa del Rey 2011, La Liga 2011/2012, dan Super Copa de Espana 2012 yang menahbiskan dirinya sebagai pelatih pertama dalam sejarah yang mampu juara di tiga kompetisi penting Eropa (Premier League, Serie-A, dan La Liga).

Juni 2013, Mourinho kembali untuk kedua kali ke klub yang ia besarkan, Chelsea. Disana ia melanjutkan tuahnya dengan menjuarai Premier League 2014/2015. Namun seiring performa The Blues yang merosot diawal musim 2015/2016, pria Portugal itu pun dipecat pada Desember 2015.

Namun tak perlu waktu lama bagi Mourinho untuk menganggur. Mei 2016, ia langsung menyambut tawaran bergengsi dari Manchester United. Pada musim 2016/2017 ia mempersembahkan tiga gelar untuk Red Devils: Community Shield, Piala Liga Inggris, dan Europe League. Namun musim berikutnya, MU tampil buruk sedari awal musim dan Mourinho akhirnya dipecat pada Desember 2018.

Sempat jadi komentator sepakbola tv, Mourinho tak tahan untuk kembali ke lapangan. Pada November 2019, ia ditunjuk menjadi manajer Tottenham Hotspurs. Seperti kata saya diawal, melatih Tottenham sebenarnya perjudian bagi pelatih sekaliber Mourinho. Sama seperti Carlo Ancelotti yang melatih Everton. Keduanya merupakan manajer elite yang punya reputasi tinggi dengan sederetan gelar mentereng di klub-klub sebelumnya. Melatih tim yang bukan raksasa itu memang menyuguhkan tantangan. Disatu sisi sebagai ajang pembuktian, bahwa berhasil membawa tim semenjana ke posisi terhormat itu menunjukkan kejeniusan sang pelatih. Tapi disisi lain, bila gagal bisa-bisa malah menjatuhkan reputasi yang telah dibangun selama ini.

Dimusim pertama 2019/2020, Mourinho hanya berhasil membawa Tottenham finis diurutan keenam Liga Inggris. Musim ini diawal-awal pasukannya sempat tampil meyakinkan dan digadang-gadang sebagai calon juara. Namun memasuki paruh musim kedua, performa Tottenham justru merosot. Kekalahan demi kekalahan datang silih berganti. Walhasil sebelum Mourinho diberhentikan pada 19 April lalu, hingga pekan ke-32  The Lillywhites masih berada diperingkat tujuh klasemen sementara Premier League. 

Mereka berjarak empat poin dengan Chelsea dan lima poin dari West Ham di zona Europe League. Dengan enam laga tersisa, Tottenham terancam absen di kompetesi Eropa musim depan. Sebelumnya klub asal London Utara itu juga sudah tersingkir dari Europe League dan FA Cup. Mourinho pun digantikan oleh Ryan Mason, pelatih muda berusia 29 tahun yang belum berpengalaman. Pemecatan ini membuat Mourinho gagal memberikan trofi pertama untuk Tottenham dalam 13 tahun terakhir, padahal sebenarnya mereka sebenarnya sudah masuk final Piala Liga Inggris dan akan menantang Manchester City. Untuk pertama kalinya juga dalam 19 tahun terakhir Mourinho gagal mempersembahkan gelar kepada klub yang ia latih setelah sekian lama selalu berhasil sejak jadi arsitek Porto.

Well, tak sedikit orang yang menyebut kehebatan melatih Mourinho telah meluntur. Belum lagi banyak fans (bahkan pemain) yang mengkritik gaya permainan racikannya yang defensif dan kurang menghibur. Padahal sejak awal, harusnya mereka sudah tahu konsekuensinya. Memperkerjakan Mourinho artinya jangan bermimpi tim kalian akan bermain menyerang ala Pep Guardiola. Trade mark-nya Mourinho itu dari dulu jelas: bermain pragmatis dan mengedepankan hasil.

Bermain dibawah kendali Mourinho, artinya para pemain harus siap mengorbankan jiwa raganya dan selalu mengikuti instruksi sang coach layaknya pemain Chelsea periode pertama dan Inter Milan saat Treble Winners dulu. Pemain jangan merasa sok bintang. Tahun-tahun terakhir entah mengapa Mourinho selalu dikabarkan berseteru dengan pemainnya sendiri. Di MU, ia pernah bersitegang dengan Paul Pogba. Di Tottenham sendiri, konon beberapa pemain senior dikabarkan memusuhinya. Dele Alli pernah disebutnya sebagai pemain pemalas. Mungkin yang harus diperbaiki Mourinho kedepan adalah jangan membicarakan kejelekan pemain sendiri didepan media, biarkan itu jadi urusan intern di ruang ganti.

Mourinho sudah mengatakan kalau dirinya tak mau rehat berlama-lama. Dan ia pun tak sepi peminat dari klub-klub dan timnas di Eropa. Kita tunggu saja kiprahnya musim depan. Apakah bisa Mourinho menunjukkan kehebatannya meracik strategi seperti dimasa lalu, dan menunjukkan ia masih pantas dijuluki The Special One?

(Bangka, 24 April 2021/ dari berbagai sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun