Mohon tunggu...
The Sas
The Sas Mohon Tunggu... Seniman - Si Penggores Pena Sekedar Hobi

Hanya manusia biasa yang ingin mencurahkan apapun yang ada dalam isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Herman

27 September 2020   12:45 Diperbarui: 27 September 2020   12:51 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama beliau Pak Herman. Puluhan tahun beliau mengabdi sebagai guru honorer SD di sebuah pelosok desa yang jaraknya sekitar tiga puluh kilo dari pusat kota. 

Tanpa pernah mengeluh walau gajinya kecil, itupun sering molor karena dana BOS belum cair. Namun itu tak jadi persoalan yang merisaukan hatinya.Yang hanya dipikirkan Pak Herman adalah bagaimana murid-muridnya bisa mendapatkan pendidikan secara layak di sekolah. Apalagi SD tempatnya bertugas kekurangan tenaga guru, karena beberapa PNS telah minta mutasi ke kota.

"Allah itu maha pengasih dan penyayang," kata Pak Herman suatu hari padaku. "Walau gajiku kecil, tapi dari hasil kebunku cukup untuk memberi makan anak dan istriku."

Ya, sepulang sekolah dan beristirahat sebentar dirumah, petangnya Pak Herman langsung menuju kebun. Disana ia menanam cabe dan sayur mayur, yang setelah panen hasilnya ia jual ke warga sekitar. Bahkan setelah sholat maghrib, Pak Herman masih sempat mengajar ngaji anak-anak di kampung.

Menjelang senja datanglah kabar baik. Di usianya yang ke-54 tahun, Pak Herman diangkat menjadi PNS dari jalur K2. Sungguh membahagiakan, yang ku harap ini akan jadi happy ending di masa tua beliau.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Lagi-lagi Allah punya rahasia hidup. Pak Herman terkena penyakit stroke, yang walaupun tidak parah namun mulai menggerogoti kekuatan fisiknya. Tubuhnya tak pernah lagi pulih dan gagah seperti sedia kala, yang tidak memungkinkan dirinya kembali bekerja di kebun. Karena hanya berijazah SMA dan bukan pendidikan guru, Pak Herman pensiun di usia 58 tahun sebagai PNS. Tadinya ku berharap beliau sudah tenang, tinggal menikmati masa tuanya bersama keluarga tercinta.

Namun ternyata belum cukup. Menjelang senja datanglah kabar yang kali ini justru buruk. Ada surat dari dinas terkait yang menjelaskan bahwa Pak Herman tidak berhak mendapatkan uang pensiun setiap bulan karena baru empat tahun menjadi PNS. Ya, ada aturan negara yang menegaskan hal tersebut.

Sungguh aku geram. Mengapa masa kerja Pak Herman selama berpuluh-puluh tahun sebagai guru honor tidak dihitung seperti masa-masa sebelumnya? Kita dipaksa tunduk dengan aturan buatan manusia  yang kaku, yang terkadang mohon maaf, tumpul keatas namun tajam ke bawah, namun bisa lentur jika berhadapan dengan kolusi nepotisme pejabat dan kepentingan politik.

"Tak apa, Pak, mungkin ini bukan rejeki saya," kata Pak Herman kepadaku dengan sabar. "Ku anggap ini ujian dari Allah."

Hufft, ku tarik nafas ini dalam-dalam. Terhenyak bak ditampar keras, namun bercampur kagum akan sikap beliau.

(Bangka, 20 September 2020)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun