Mohon tunggu...
Sasetya wilutama
Sasetya wilutama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Pemerhati budaya

Mantan redaktur majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat Surabaya dan pensiunan SCTV Jakarta. Kini mengabdi di almamaternya, Stikosa-AWS Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Merawat Kenangan

2 Juli 2022   10:04 Diperbarui: 2 Juli 2022   10:23 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah saya menjadi Senior ini, sedikit penghalusan dari kata "tua",  saya menyadari  faedah mempunyai kenangan. Tidak terlalu penting apakah kenangan indah, kenangan baik atau kenangan buruk.

Dengan memiliki kenangan, saya menyadari telah melalui perjalanan panjang kehidupan, telah melewati sekian banyak peristiwa yang kemudian mengendap dalam "alam bawah sadar" saya. Perkara sekian banyak kenangan itu kemudian menjadi hikmah atau   pelajaran berharga itu soal lain. Tapi dari kenangan itu kadang sering membuat saya tertawa sendiri, merasa melow sendiri, merasa bangga sendiri...Beberapa sesepuh yang saya temui bahkan menceritakan kenangan masa mudanya dulu sampai puluhan kali dengan kisah yang sama, diksi yang sama, ekspresi kegembiraan yang sama. Apakah anda juga demikian ? Sama kalau begitu.

Kenangan yang sangat lekat dalam pikiran saya sampai sekarang adalah desa Grabag, di kota kecil Kutoarjo, Jawa Tengah beserta dinamika kehidupan sehari hari warganya.  Walaupun saya dilahirkan di Surabaya, namun ibu saya lahir di desa ini.  Ibu saya putri bungsu dari 4 saudara yg semuanya perempuan,  yakni : 1.Bude Miatun di Medan, 2. Bude Tinuk  di Jakarta, 3. Bude Basirah di desa Tulusrejo, 4. Sukamti di Surabaya, nama ibu saya.

Saya masih ingat wajah almarhum Mbah Joyo kakung putri dan ketiga bude saya yang sudah wafat. Saat Mbah Kakung dipanggil olehNya dan saya, waktu itu belum sunat, ikut menunggui saat terakhir beliau bersama ibu. Saya melihat ibu menangis dan bingung karena sampai siang hari Mas Sarwono, putra bude Tinuk, belum juga datang. Waktu itu jangankan hape, tilpun biasa aja gak ada satupun penduduk desa yang punya. Telegram adalah satu satunya sarana untuk mengirim kabar secara cepat.

 Juga pohon sirsak (penduduk setempat menamai Nongkosabrang) di depan rumah Mbah Joyo,  bilik kecil tempat saya tidur bersama ibu. Jika malam hari sering tidak bisa tidur karena takut, suasana yang gelap sekali, dan segala suara di luar sepertinya terdengar dari dalam bilik. Maklum rumah Mbah Joyo seluruhnya terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan atap rumah dari Damen (anyaman daun kelapa kering yang sudah diikat sedemikian rupa). Menunggu pagi tiba rasanya lama sekali. Tapi toh akhirnya tertidur juga....

Setiap lebaran tiba, ibu bapak mengajak saya mudik di Kutoarjo. Belum ada kereta api yang langsung berhenti di stasiun Kutoarjo seperti sekarang. Biasanya turun di stasiun Yogyakarta kemudian ganti kereta molen atau "sepur kluthuk" dan turun di stasiun Kutoarjo, kemudian disambung naik Dokar. Perjalanan yang melelahkan namun sangat menggembirakan. Maka saya selalu menanti saat lebaran tiba agar bisa berlibur di desa. Sangat menyenangkan bertemu dengan mas Pandi, Lik Yono, Mbah Parto, Mbah Mangku, bulik Darsih dan para sedulur lain yang sangat semanak. Apalagi bermain pasir dan menikmati lontong kupat yang nikmat di Segoro Kidul.

Rute bermain saya saat di desa Grabag seperti sudah terpola. Seharian di rumah Mbah Mangku, bermain dengan Mas Pandiono (dulu sering dipanggil Mas Panjul) atau di rumah Mbah Parto yang rumahnya sebelahan. Saya sering memetik buah belimbing yang ada di belakang rumah Mbah Mangku, atau buah sawo yang ada di depan rumah Mbah Parto. Tiap pagi saya ke pasar Grabag untuk membeli mainan wayang yang terbuat dari kardus, lalu saya mainkan di rumah Mbah Joyo. Sejak kecil saya sangat suka nonton wayang dan sempat bercita cita jadi Dalang.

Begitulah...saya bahagia mempunyai kenangan manis, diantara banyak kenangan yang saya alami. Tidak semua kenangan baik dan manis. Tapi saya tidak menyesal mempunyai kenangan buruk, sebab dari kenangan buruk menjadi pelajaran agar menjadi baik. Setelah saya menjadi senior (sekali lagi untuk memperhalus sebutan tuwek) saya berkesimpulan  harus ada ikatan batin yang kuat untuk merawat kenangan. Agar ikatan batin selalu terkoneksi dengan baik diperlukan silaturahmi. Semakin sering kita bertemu dengan orang, silaturahmi, sekedar ngopi bareng, semakin banyak kita punya kenangan. Semakin banyak kita mempunyai kenangan, semakin gembira dan menggairahkan hidup kita.

Anda setuju ?

(Sasetya Wilutama)

foto masa kecil (dok.pribadi)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun