Mohon tunggu...
Vanessa Aurel
Vanessa Aurel Mohon Tunggu... Freelancer - -communication studies-

HI! You can call me Aurel. I do love to learn language and culture!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurasa Tak Perlu Judul

26 September 2019   13:54 Diperbarui: 27 September 2019   12:02 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lingkunganku tak lagi asri. Pemandangan indah tak lagi dapat dinikmati.

Tak terasa sudah dua tahun lamanya saya tinggal di Yogyakarta, merantau lebih tepatnya. Hiruk-pikuk Jogja sudah sangat saya nikmati. Menyisir kebosanan, pastilah saya pergi tamasya bersama teman-teman, entah ke bukit bintang, tebing breksi, hutan pinus atau bahkan mendaki gunung. Tapi, saya tidak ingin membagi kisah bahagia itu pada tulisan kali ini, biarlah nanti, tunggu saja.

Sebelum pindah kota, saya selalu dicekok'i dengan ucapan yang tak pernah terlupakan ketika orang ingin ke Jogja. "bawa baju tebal, Jogja dingin loh", "nanti kalau udah di Jogja, pasti mau ke sana lagi dan lagi", dan sebagainya (kalau ada opini lain, bisa tambahkan di kolom komentar ya!). Mendengar hal-hal itu membuat saya bersemangat sekali ketika pindahan.

Tahun pertama-kedua saya lalui susah-senangnya. Namanya juga mahasiswa, pasti bertemu dengan berbagai macam perkara yang harus diselesaikan secara mandiri. Tentu ada jatuh-bangun juga. Jarak antara kost dan kampus yang cukup dekat membuat saya selalu berjalan kaki demi meraih mimpi. Kesempatan ini saya gunakan untuk terus berpikir positif dan hal-hal lain seputar masa depan saya.

Saya amat menyukai kebebasan berpikir ini. Setiap ada kelas pagi sekitar jam 07.00 WIB, saya sempatkan waktu untuk melihat pesona alam sambil mengunyah sebuah apel. Ditemani dengan semangat mentari, lantas saya bergegas berangkat. Di sepanjang jalan, pohon rindang juga ikut menyapa melalui tarian dedaunan. "Ah, alangkah hebat bumi pertiwi, manusia patut bersyukur atas kenyamanan ini", pikirku dalam hati.

Tak sampai di sana, saya juga menyukai perjalanan ketika pulang. Menurut saya, sore hari adalah waktu terbaik untuk merenungkan kejadian yang dialami hari itu. Tentu, pohon rindang tadi tak kenal lelah mengayomi saya, ia juga memberi kesan spesial ketika matahari berada tepat di belakangnya.

Walau sudah menjelang petang, terkadang matahari tetap menyengat. Ini saya rasakan betul karena dua tahun berjalan kaki. Tapi, beruntungnya saya dilindungi oleh pohon-pohon rindang tadi sehingga matahari tak membuat saya kehilangan banyak keringat. Tapi, semua hilang.

dokpri
dokpri
Memasuki tahun ketiga, tepatnya saat saya semester lima, pohon rindang yang menemani saya setiap hari tadi ditebang. Saya tidak tahu siapa oknum yang menebang, tetapi agaknya ia tidak tahu bahwa pejalan kaki masih memerlukan pepohonan untuk menghindar dari sengatan panas matahari, ditambah dengan adanya pemanasan global. Waduh, makin panas saja.

Sekarang, saat saya menuju kampus, jalan-jalan tidak lagi asri. Pejalan kaki kehilangan tempatnya berlindung dari matahari, pejalan kaki kehilangan lebih banyak cairan karena teriknya matahari. Saya tidak tahu tujuan penebangan pohon tersebut untuk apa dan saya juga tidak tahu apakah pohon itu bisa tumbuh rindang lagi atau tidak. Tapi, saya ingin berbagi kesedihan melalui tulisan ini. Itu intinya.

Saya tidak bisa lagi menikmati pagi hari dengan tatapan takjub, saya tidak bisa lagi menikmati sore hari dengan nyaman. Terlebih, saya tidak bisa lagi melihat pesona alam yang dulunya ada di depan mata setiap hari, sekarang saya harus susah payah mencari. Semoga pejalan kaki lain juga merasakan hal yang sama.

#GueKompasianer

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun