Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam suatu postingan utas di akun medsos nya menengarai ada empat titik rawan korupsi dalam penanganan Covid-19, baik di tingkat pusat sampai desa.Â
Selain menyoroti keempat titik tersebut, KPK juga menyebutkan cara pencegahan yang sudah dilakukan. Rambu-rambu aturan telah ditetapkan agar tidak terkena kasus korupsi.
Menurut KPK Potensi korupsi dalam penanganan Covid-19 yang pertama adalah pada  Pengadaan Barang/Jasa mulai dari praktik kolusi, mark-up harga, kickback, konflik kepentingan dan kecurangan.
Oleh karena itu KPK mengeluarkan SE No.8 Th 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Barang/Jasa dlm Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait Pencegahan Korupsi.
Isi dari SE tersebut adalah memberikan rambu-rambu pencegahan untuk memberi kepastian bagi pelaksana PBJ hingga mendorong keterlibatan aktif APIP dan BPKP untuk melakukan pengawalan dan pendampingan proses pelaksanaan PBJ dengan berkonsultasi kepada LKPP.
Titik Rawan Kedua terletak di filantropi/sumbangan pihak ketiga.
Kerawanan pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan dan  penyelewengan bantuan.
Upaya pencegahan yang dilakukan oleh KPK dengan  menerbitkan panduan berupa Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/0 1-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat. Surat ini ditujukan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda.
Potensi korupsi ketiga, terletak  pada proses refocusing dan  realokasi anggaran Covid-19 untuk APBN dan  APBD. Titik rawannya terletak pada alokasi sumber dana dan belanja serta pemanfaatan anggaran.Â
Guna mencegah terjadinya prilaku korup, maka perlu koordinasi, monitoring perencanaan refocusing/realokasi anggaran, dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian/lembaga/pemda apabila menemukan ketidakwajaran penganggaran atau pengalokasian.
Potensi korupsi yang terakhir atau yang ke empat adalah pada titik penyelenggaraan bantuan sosial (Social Safety Net) oleh pemerintah pusat dan atau daerah. KPK mengidentifikasi titik rawan pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan.Â
Maka upaya pencegahan yang perlu dilakukan mendorong Kementerian/Lembaga/Pemda untuk menggunakan DTKS sebagai rujukan pendataan penerima Bansos dan mendorong keterbukaan data penerima Bansos serta membuka saluran pengaduan masyarakat.