Mohon tunggu...
Sarwo Edhi Ubit
Sarwo Edhi Ubit Mohon Tunggu... Administrasi - PNS muda

Seorang insinyur muda dan pemerhati sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesalahpahaman Gelar Teuku dan Cut

25 September 2015   16:43 Diperbarui: 25 September 2015   16:52 5019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

 

Gelar “Teuku” dan “Cut” adalah gelar yang sering disalah-pahami oleh masyarakat Aceh. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa gelar ini adalah gelar marga yang mana anak-anaknya boleh menyandangnya. Pemahaman yang salah menyebabkan adanya praktik perkawinan sekufu, sekufu yang dipandang hanya bedasarkan gelar bukan tujuan politik seperti masa lalu.

Awal

Salah satu seorang pegiat sejarah -saya lupa namanya tapi beliau dari MAPESA- menemukan nisan tertua (sekitar tahun 1200an) yang menyebut gelar Teungku di daerah kabupaten Pidie. Ada juga penulis membaca sebuat surat bercap sembilan dari Sultan Mansur Syah kepada penguasa Pante Raja dengan menyebut “Teuku Chik Pante Raja” maka dengan demikian bahwa gelar ini sudah ada sebelum Belanda datang. Hal ini untuk membantah sebagian pandangan masyarakat bahwa Belandalah yang memberi gelar tersebut.

Hal yang membuat sulit melacak makna sebuah gelar dalam sejarah melayu adalah ketidakkonsistenannya dalam menggunakan gelar. Contoh Tumenggung dalam istilah melayu awalnya digunakan untuk penjaga Istana. Tapi ketika ia meraih kekuasaan sebagaimanahalnya di Johor, Malaysia saat ini mereka tetap memakai gelar Tumenggung sampai Abu Bakar mengubahnya menjadi Sultan. Begitupula di Aceh, ada yang bergelar Laksamana tapi bukan panglima AL, gelar Maharaja tapi dia adalah penguasa pelabuhan.

Di Aceh ada dua asal bangsawan, bangsawan lama dan bangsawan baru. Bangsawan lama adalah bangsawan yang ditunjuk langsung Sultan sejak awal. Mereka sering memakai gelar terakhirnya di ibukota seperti Bendahara, Bentara, Maharaja Mangkubumi, Mangkubesi, Laksamana, Keujreun, Pangulee dll. Mereka sudah berkuasa sejak zaman Iskandar Muda bahkan sejak zaman Sayyidil Mukammil. Kebanyakan mereka berada di Pidie dan Lhokseumawe. Konon, katanya bangsawan lama ini dikutuk jika memakan kerbau putih.

Bangsawan baru adalah adalah bangsawan pendatang dari Aceh Besar yang membuka ladang-ladang lada di pantai timur dan selatan provinsi Aceh. Mereka kebanyakan bergelar Teuku Chik atau Teuku Raja. Mereka berada di antara Lhokseumawe sampai ke Idi, dari Meulaboh sampai ke Singkil. Pendatang dari Aceh Besar mengubah gelar Raja dahulu dari Datok ke Teuku. Contoh dari bangsawan baru adalah panglima XIII Mukim Tungkop. Dahulu Panglima Sagoe XXVI Mukim (kakek Teuku Nyak Arif) memberi kekuasaan kepada seorang ulama untuk mengurus 13 mukim tersebut dengan pusat kekuasaan di Tungkop. Ketika anaknya tidak memiliki ilmu agama sehebat ayahnya sehingga mengubah gelar Teungku jadi Teuku sehingga panglima terakhir bernama Teuku Anziz. Begitupula penguasa Trumon dahulu adalah seorang keturunan ulama dari Mukim XXV (dari Peukan Bada sampai Lhong) yaitu Lebai Dapa (Lebai Jakfar).

Dari ditinjau setatus kekuasaan ada yang bernama Uleebalang Poteuh. Uleebalang ini diangkat oleh Sultan tanpa kekuasaan dan wilayah sama sekali. Kalau istilah sekarang mereka ini Menteri non portofolio.

Adat ketika bertemu dengan mereka, jika seorang uleebalang berjalan dengan rakan-rakannya (pengawal dan orang sering menyebut “asee uleebalang”) orang awam harus tunduk sambil berseumah (salam dengan merapatkan tangan diatas dahi seperti orang hindu-budha) sambil berkata “Ampon Teuku”. Jika tidak melakukan dianggap tidak sopan dan salah satu rakan akan menggebuknya.

Disini yang perlu dipahami adalah bahwa gelar Teuku benar gelar bangsawan dahulu tapi bukanlah bersifat mengikat dan bukan menandakan dia keturunan Sultan. Dalam prinsip aceh dahulu dikenal dengan istilah “Cap lima lebih penting dari cap sembilan” yang berarti kekuasaan (cap lima atau tangan) lebih berarti Cap Sembilan (SK Pengangkatan) karena Sultan sering kali tak menunjuk siapa penguasa di suatu tempat sambil menyerahkan kepada siapa yang berkuasa secara de facto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun