Mohon tunggu...
Saroh Jarmin
Saroh Jarmin Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Tinggal di Kab. Lebak, Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Desas-desus Si Nambo

27 Maret 2018   08:58 Diperbarui: 27 Maret 2018   09:32 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihat ke sekeliling. Sungguh sebuah tempat yang berbeda dari yang kukenal dulu. Lebih dari sepuluh petak sawah yang telah berubah menjadi lahan yang landai. Di atas lahan ini, kini dibangun beberapa saung kecil semacam gazebo yang terbuat dari bambu berukuran 3 x 3 meter sebagai tempat istirahat para pengunjung, lengkap dengan toilet untuk laki-laki dan perempuan. Tidak ada sampah.

Bougenville, Walisongo, dan bunga-bunga yang ditanam dalam pot yang berjajar di sepanjang sisi tempat ini menambah suasana makin asri. Sebagian lahan kosongnya ditanami rumput Jepang yang rutin disiangi dan sisanya menjadi tempat parkir kendaraan. Di bawahnya masih kulihat sungai dengan air yang juga masih tampak jernih.

Tampak pula tebing yang jauh lebih bersih dan rapi. Tak ada lagi batu-batuan berlumut dan ilalang yang menjulang tinggi. Bahkan kini ada tangga beton yang sangat kukuh yang menghubungkan sungai dengan lahan landai di atasnya itu. Menjadikan tempat ini lebih nyaman untuk dikunjungi.

Kalau pun ada yang tidak berubah dari tempat ini, satu saja. Batu besar itu. Kami menyebutnya Si Nambo. Entah artinya. Tidak ada satu pun orang di kampung yang tahu persis dan bisa menjelaskan apa arti Si Nambo. Keterangan yang agak kuat didapat dari kakekku. Katanya Nambo itu nama setan. Setan Nambo, katanya. Tapi karena keterangan itu tidak populer, kepercayaan tentang Si Setan Nambo terkikis seiring waktu.

Si Nambo tetaplah sebuah batu besar. Batu itu berada di tengah sungai. Saking besarnya, ketika air sungai meluap pun, Si Nambo tak pernah tenggelam. Ia selalu bertengger gagah menantang arus sungai. Tingginya yang lebih dari dua meter seakan menunjukkan bahwa ia adalah penguasa di sungai itu. Bagian atasnya yang pipih dengan diameter kurang lebih 1,5 meter, yang kami sebut punggung Si Nambo, membuat Si Nambo menjadi tempat yang mengasyikkan untuk bercengkerama.

Kami akan menaiki punggung Si Nambo dengan melompati batu-batu kecil yang ada di sekitar Si Nambo dan sekuat tenaga, layaknya pemanjat tebing tanpa peralatan, kami mencoba menaklukkan punggung Si Nambo. Meski harus berpeluh, tapi kami selalu merasa bangga bisa menaiki Si Nambo. Si Nambo inilah sebagian kenangan dari masa kecilku. Aku menarik napas. Teringat masa-masa yang pernah kulewati hampir lima tahun silam.

***

Bersama beberapa orang teman, aku rutin mengunjungi Si Nambo setiap pulang sekolah. Tak peduli dengan perut yang keroncongan, terik matahari yang seolah membakar kulit kami, omelan ibu-ibu kami yang memekakkan telinga, ataupun tugas sekolah yang harus dipersiapkan esok harinya. Kami tetap mengunjungi Si Nambo. Tidak banyak yang kami lakukan. Terkadang hanya duduk-duduk dan menghabiskan waktu sepuluh menit sampai setengah jam. Itu sudah membuat kami puas. Kami pun lantas pulang.

Jika satu hari saja kami tidak mengunjungi Si Nambo, rasanya ada yang kurang. Si Nambo menyihir kami untuk selalu rindu dengannya. Aneh dan lucu memang. Merindukan sebuah batu. Tapi itulah juga yang aku rasakan. Memandang geliat sungai mengalir yang ditingkahi hilir mudik ikan-ikan kecil dari punggung Si Nambo membuatku merasakan kedamaian.

Dan jika tiba di hari Minggu, kami akan berada di sungai seharian. Berangkat pagi sekali dan pulang menjelang magrib. Biasanya kami akan membawa peralatan dan bahan makanan untuk ngaliwet. Selesai memasak di pinggir sungai, kami menyiapkan daun pisang untuk alas nasi liwet kami.

Di atas punggung Si Nambo, kami akan menyantap nasi liwet hasil memasak kami bersama ikan asin, tempe goreng, lalapan, dan sambil terasi. Sesudahnya, kami akan melompat ke sungai, mandi, saling berkejaran di antara derasnya air sungai, bersorak kegirangan dengan saling mencipratkan air ke wajah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun