Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bom Waktu Quiet Firing

4 Oktober 2022   16:49 Diperbarui: 4 Oktober 2022   17:02 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada perasaan haru setiap kali ada kerabat atau kawan yang resign atau diberhentikan dari pekerjaannya. Terbayang bagaimana nantinya tidak bekerja dan tidak berpenghasilan lagi. Di jaman tidak mudah memperoleh pekerjaan seperti sekarang ini keputusan resign pastilah sesuatu yang berat dan melalui banyak pertimbangan. 

Bagi boss pun sama beratnya, apalagi mencari pekerja baru juga tidak gampang dan seringkali ongkosnya mahal. Maka resign dan memberhentikan karyawan umumnya adalah pilihan terakhir setelah tidak ada lagi alasan untuk tetap bertahan. 

Dunia kerja itu selain menjadi salah satu sumber penghidupan juga arena bagi para pelakunya untuk mengekspresikan kompetensinya. Selain itu juga menjadi sebuah kancah pertemuan dan pertempuran antar manusia berbeda karakter untuk mencapai tujuan bersama. Dunia seperti itu bisa sangat menarik dan sering kali juga sebaliknya, sangat menyebalkan bagi penghuninya. 

Itulah memang dunianya boss dan para bawahan. Walaupun seorang pimpinan mungkin saja menjadi bawahan bagi boss di atasnya dan seorang bawahan bisa jadi dia adalah seorang boss bagi bawahannya. Sama seperti dalam kehidupan sehari-haripun ada strukturnya, mana tokoh (boss) dan mana warga biasa. 

Struktur dan hirarki dalam beberapa hal banyak manfaatnya dan bisa difungsikan untuk memperjelas, memudahkan dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan. Di situ terbagi tugas, siapa yang mengerjakan, siapa yang memimpin, siapa yang mengarahkan dan siapa yang melakukan evaluasi, sebagus apakah pencapaian tujuan bersamanya. 

Evaluasi sebaiknya dilakukan terus-menerus, karena dalam kenyataannya menyepakati dan mewujudkan tujuan yang sama pun tidak gampang. Rambut sama hitam tapi isi kepala dan karakternya bisa berwarna-warni. 

Siapapun kalau menjadi boss, tentu akan lebih fokus berpikir pada pencapaian tujuan dan hasil akhir karena dari situlah diukur kesuksesannya. Kalau bekerja dengan mesin, dia akan berusaha sekuat tenaga agar mesinnya itu bisa berproduksi terus menerus. Mesin sesekali bisa ngadat dan bisa diperbaiki. Kalau mesin sering ngadat, itulah saatnya beli mesin yang baru. 

"Celakanya" tidak semua hal bisa dikerjakan dengan mesin. Masih banyak tenaga manusia diperlukan. Manusia tentu saja sangat berbeda dengan masin. Karakternya bermacam ragam. Seandainya saja karakter manusia itu hanya rajin dan malas, akan sangat mudah bagi boss untuk membedakan perlakuan terhadap keduanya. 

Karyawan yang rajin bolehlah mendapat perlakuan lebih baik. Sedangkan karyawan yang berperilaku sebaliknya, yaitu malas, tidak sebaik yang rajin. Atau kalau perlu bahkan memecatnya. 

Sayangnya dalam dunia nyata karakter orang itu tidak hanya rajin dan malas. , ada yang patuh dan pintar, juga pandai bergaul dan pandai menciptakan suasana segar bagi lingkungannya, lalu mampu berkontribusi lebih besar. 

Sebaliknya ada yang biasa-biasa saja, bekerja sekedar memenuhi kewajiban, dia datang maupun pergi tidak merubah keadaan. Dan banyak lagi karakter yang lainnya. 

Fajar Dewanto menulis "Human Asset Value Mapping, Memetakan Pengembangan Individu" di Business Lounge Journal 16 Agustus 2014. Dewanto menggolongkan karyawan berdasarkan faktor kinerja dan potensinya yang penulis ringkas menjadi: 1) yang memiliki kinerja tinggi dan potensi juga tinggi; 2)yang memiliki kinerja dan potensi rendah; 3) yang memiliki potensi yang tinggi namun kinerjanya yang rendah, dan, 4) karyawan yang memiliki kinerja tinggi namun potensinya rendah. 

Klasifikasi ini dapat digunakan untuk mengelola sumberdaya manusia secara lebih akurat dan lebih tepat sasaran. Misalnya siapa saja karyawan yang masih bisa dan perlu dikembangkan, siapa yang harus disesuaikan kembali penempatannya dan penugasannya, atau bahkan, kalau perlu, siapa yang harus segera diberhentikan dan dicarikan penggantinya. 

Informasi klasifikasi tersebut apabila secara terbuka dibicarakan dengan karyawan, bisa menumbuhkan ketenangan kerja. Ketenangan muncul karena karyawan memahami klasifikasi dirinya dan rencana pengembangan atau tindak lanjut yang diperlukannya. Keterbukaan dan ketenangan kerja bisa menjadi jembatan komunikasi untuk mengantisipasi munculnya buruk sangka dan lahirnya ketidak-puasan. 

Sebaliknya, ketertutupan informasi dan ketidaktahuan akan menjadi bibit tumbuhnya keresahan kerja dan ketidakpuasan yang bisa diwujudkan dalam berbagai rupa perilaku. Misalnya dengan bekerja sekedarnya saja sesuai dengan tugas dan kewajiban yang diembannya. 

Menghadapi hal ini, tentu pimpinan terbebani pikiran dan rasa tidak puas atas kinerja seadanya karyawannya. Pikiran semakin suntuk karena beban akan bertambah dengan munculnya rasa enggan untuk melibatkannya dalam urusan pekerjaan dan pengembangan karir. 

Jarang disadari bahwa pikiran suntuk mudah mengundang prasangka buruk. Pengelolaan karyawan memang bukan hal sederhana tapi ruwet dan rawan mengundang prasangka buruk. 

Apabila prasangka buruk sudah merasuk, sehalus apapun bentuk dan bahasa informasi yang berseliweran akan dianggap sebagai sebuah ungkapan ketidak-sukaan. Maka, bom quiet quitting dan quiet firing menunggu waktu untuk menjebluk dan memakan korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun