Masyarakat Indonesia dikenal dengan keberagaman budaya dan agama yang kaya. Salah satu contoh nyata harmoni sosial dalam keberagaman dapat ditemukan di RT 04 RW 03, Lingkungan Mardisari, Kelurahan Kertosari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dengan jumlah 48 kepala keluarga yang terdiri dari penganut agama Islam, Katolik, dan Kristen, warga di lingkungan ini menunjukkan toleransi yang kuat, terutama selama bulan suci Ramadan. Sikap saling menghormati ini sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Bulan Ramadan menjadi momen istimewa bagi masyarakat Mardisari. Tidak hanya sebagai bulan ibadah bagi umat Muslim, tetapi juga sebagai ajang mempererat kebersamaan antarumat beragama. Salah satu bentuk toleransi yang tampak jelas adalah penyelenggaraan buka puasa bersama yang dihadiri oleh umat Muslim dan warga non-Muslim. Partisipasi aktif mereka mencerminkan semangat persatuan yang melampaui batas agama serta selaras dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," yang menekankan pentingnya kebebasan beragama dengan sikap saling menghormati.
Keberagaman agama di lingkungan Mardisari juga terlihat dalam interaksi sosial sehari-hari yang harmonis. Keberadaan mushola yang berdampingan dengan Gereja Kristen serta adanya panti asuhan Pangrekso Dalem Katolik menjadi simbol eratnya hubungan antarumat beragama. Warga non-Muslim menunjukkan sikap toleransi tinggi dengan ikut serta dalam kegiatan sosial keagamaan Islam seperti tahlilan dan pengajian. Meskipun mereka tidak terlibat dalam ritual ibadah secara langsung, kehadiran mereka mencerminkan rasa hormat dan kepedulian terhadap sesama.
Selain menjunjung nilai-nilai Pancasila, masyarakat Mardisari menjaga tradisi budaya bangsa yang agamis. Gotong royong menjadi nilai utama yang tetap lestari dalam kehidupan sehari-hari. Selama bulan puasa, warga non-Muslim menghormati kegiatan berpuasa umat Muslim dengan menghindari makan dan minum di tempat umum. Tradisi ini memperkuat rasa persaudaraan dan menunjukkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang bagi keharmonisan sosial, melainkan kekayaan yang harus dijaga bersama.
Ada teori Gordon W. Allport yang mengatakan tentang interaksi antar kelompok dalam lingkungan positif, teori ini relevan di Mardisari. Interaksi selama bulan Ramadan tidak hanya membentuk hubungan harmonis tetapi juga memperkuat solidaritas sosial di tengah perbedaan kepercayaan. Lingkungan yang saling mendukung ini menjadi contoh nyata bagaimana teori tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengurangi prasangka dan meningkatkan pemahaman serta kerja sama.
Dampak positif dari toleransi beragama di RT 04 RW 03 sangat terasa dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan antarwarga menjadi lebih erat, suasana lingkungan lebih harmonis, serta tercipta rasa saling memiliki dan menghormati. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila dan budaya bangsa, warga Mardisari membuktikan bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan dalam membangun persatuan dan keharmonisan sosial.
Keberhasilan masyarakat Mardisari dalam menjaga toleransi selama bulan Ramadan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk menerapkan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman serta memahami makna keberagaman sebagai kekuatan, harmoni sosial dapat terus terjaga. Ramadan bukan sekadar bulan ibadah bagi umat Muslim tetapi juga momen bagi seluruh masyarakat untuk memperkuat persaudaraan dan mewujudkan kehidupan yang damai dan inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI