Mohon tunggu...
bebet rusmasari
bebet rusmasari Mohon Tunggu... Guru - Menjadi bermanfaat

Tetaplah hidup dan menjadi berguna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cuma Manusia Biasa

16 Januari 2020   08:27 Diperbarui: 16 Januari 2020   08:30 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepulang dari sekolah selepas mengajar sore itu, saya langsung menelepon Ibu untuk bilang,

"Bu, maaf sudah kecewakan Ibu." Itu saja. Ibu tidak menyahut.

Hari Sabtu itu cukup melelahkan. Saya mulai masuk kelas jam 7.15 di kelas X. Bangku di kelas belum sepenuhnya terisi. Masih ada saja satu dua siswa yang terlambat. 

Alasannya macam-macam. Terlambat bangun adalah alasan yang paling klise. Rencana untuk ulangan harian tertunda beberapa menit. Sambil menunggu seluruh siswa di kelas itu hadir semua.

Satu setengah jam berlalu, saya lanjut mengajar di kelas XII. Ruang kelasnya jauh di belakang. Dekat pagar batas sekolah. Melewati beberapa unit ruang kelas, lapangan basket, kantor, laboratorium, ruang guru dan jembatan kecil untuk sampai ke sana dari ruang kelas yang pertama tadi. Saya sudah merasa seperti Dora the Explorer pagi itu.

Kelas XII aman sampai jam istirahat. Satu setengah jam yang kedua terlewati. Istirahat 15 menit cukuplah untuk meluruskan punggung sebentar sambil menikmati ubi goreng bersama dua kawan sejawatku di perpustakaan sekolah.  Hilanglah penat saat itu hingga bel masuk kelas berikutnya berbunyi.

Jam 10.30 kelas terakhirku Sabtu itu. Agak panjang durasinya hingga jam 13.10 dijeda istirahat sholat Dhuhur. Entah kenapa, di kelas itu saya merasa kesal dengan ulah seorang anak. 

Kelas terakhir ini juga jadwalnya ujian, dan si anak ini sebut saja namanya Dudung berkali-kali berbohong. Semua hal yang saya tanyakan dijawabnya bohong dan saya tahu dia bohong. Dan parahnya lagi, dia juga tahu kalau saya tahu dia bohong.

Saya marah. Saya kesal. Saya merasa dipermainkan. Saya ucapkan kata-kata dengan nada yang keras yang tidak sepatutnya didengar oleh anak-anak saya. 

Saya marahi dia. Saya banding-bandingkan dia dengan anak lain. Saya cela dia. Saya sudutkan dia. Saya tunjuk-tunjuk dia. Di depan kawan-kawan sekelasnya. Belum puas sampai disitu, saya laporkan ke wali kelasnya.

Saya berjalan ke arah pintu kelas dengan dada yang sesak dan jantung berdegup kencang. Angin kering meniup pepohonan di jalan setapak sepanjang lapangan depan kelas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun