Sejuk, damai dan tenang, itulah kata yang tepat pena ini merangkai kata demi kata, menggambarkan dan bercerita apa yang terlihat di depan mata. Meski sekarang, aku tak berada di tengah-tengah pemandangan alam yang indah, bukan juga duduk di atas bangunan mewah dan megah, namun rasa syukur atas apa yang Tuhan hadirkan mampu mencubit kepekaan hati agar selalu tunduk dan mengakui bahwa KehendakNya yang lebih Kuasa.
Menghindari diri dari konflik bathin adalah sebuah tantangan yang paling berat. Bagaimana tidak, setiap kali Gadget kunyalakan, sifat manusia yang saling hujat, pamer, senang dipuji, bangga diri, keluh kesah hingga (mendekati) putus asa sering menghiasi beranda linimassa.Â
Tak berhenti disitu, produk visual yang tampil di televisi pun seringkali (berhasil) menayangkan figur/tokoh publik penuh muatan tak laik dipertontonkan namun bisa (memaksa) mempengaruhi pemirsanya untuk telanjang mengikuti.
.........
"Baru-baru ini setelah aksi damai di Ibu Kota, di Ujung Timur Indonesia bergejolak Pembunuhan pekerja, belum lagi budaya (baru) Â keburukan manusia dipertontonkan dan menjadi asupan otak dalam keseharian di layar kaca, seperti tayangan iklan yang tak pernah berhenti"
.........
Diri ini rindu tegur sapa semesta, aku hanya bisa mengelus dada, berdoa dan mengadu pada Yang Kuasa.
Sekarang ragaku hanya ada di dalam kontrakan yang lusuh, kotor dan tak terurus, namun kedamaian bisa kurengkuh bebas. Ternyata rasa tentram dan nyaman itu juga berbatas ketika kita tak pandai mengolah akal. Demikian juga, kegirangan hati dan senyum yang kadang menyapapun selama ada di dunia juga tak kekal.
Apa sih sulitnya, meraih kebahagiaan manusia dan alam semesta? Takarlah kebutuhan diri, bukan mendahulukan keinginan Jasmani.
Maka, ketika setiap insan mampu melekatkan puncak kebutuhan rohaninya kepada Tuhan, saat itu pula kerukunan bangsa akan tercipta dengan sendirinya.