Mohon tunggu...
sari pertiwi
sari pertiwi Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswi pascasarjana ISI Yogyakarta

Mahasiswi pascasarjana ISI Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Mengenal Kesenian Antan Delapan, Kesenian Tradisional Melayu di Sumatera Selatan

4 November 2019   14:09 Diperbarui: 6 November 2019   12:30 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saat berbincang dengan seseorang, kita akan merasa lebih akrab apabila menggunakan bahasa tradisional yang dimengerti oleh lawan bicara kita. Berkaitan dengan hal ini, akhirnya banyak orang mulai berlomba untuk memahami bahasa tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Kata tradisional sendiri sempat mengalami penurunan dalam penggunaannya dibandingkan dengan kata modern. Penurunan penggunaan ini disebabkan oleh penggambaran banyak orang tentang kata tradisional yang sering disandingkan dengan kesan kuno, kolot dan terbelakang. Akan tetapi, pada saat ini hal-hal yang berbau tradisional mulai mendapatkan tempat lagi di hati masyarakat. Hal ini saya rasakan sendiri melalui pengalaman pribadi saya saat berada jauh dari kampung halaman. Saya yang merasakan perasaan bangga saat melihat atau mendengar tradisi daerah saya dikenali oleh daerah lain, baik itu bahasa tradisional maupun kesenian tradisionalnya.

Berkaitan dengan hal ini saya berniat memperkenalkan kesenian tradisional di daerah saya Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang bernama kesenian Antan Delapan. Antan Delapan merupakan nama dari sebuah kesenian tradisional Melayu yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kesenian Antan Delapan memiliki makna yang berarti pantun.[1]

Kesenian tradisional ini berasal dari kebiasaan masyarakat yang sering menghibur diri dengan berbalas pantun pada saat menumbuk padi. Alat penumbuk padi yang digunakan bernama Antan dan Lesung. Pada zaman dahulu, masyarakat memanen dan menumbuk padi untuk dimakan bersama-sama. Agar pekerjaan menjadi lebih cepat selesai, digunakan Antan sejumlah delapan buah dengan sebuah Lesung. Pada saat seorang bujang memanen padi dan seorang gadis menumbuk padi, biasanya mereka akan mulai berbalas pantun untuk menghibur diri. Dengan arti kata, kegiatan berbalas pantun ini diiringi dengan pukulan Antan dan Lesung yang digunakan oleh gadis untuk menumbuk padi. 

Berawal dari kegiatan berbalas pantun yang sering dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Muara Enim, akhirnya terbentuklah sebuah kesenian tradisional yang bernama kesenian Antan Delapan. Pertunjukkan kesenian ini awalnya hanya berisikan pemain gendang serta tetawak (gong) yang mengiringi seorang penembang. Selain itu ada juga yang melakukan pertunjukkan dengan diiringi oleh tanjidor dan alat musik melodis seperti biola ataupun hanya diiringi dengan gitar tunggal saja. Pertunjukkan yang bersifat menghibur ini biasa ditampilkan pada acara pernikahan maupun acara kedaerahan. Seiring perkembangan zaman, kesenian Antan Delapan juga mulai mengikuti kebutuhan masyarakat agar dapat terus mempertahankan eksistensinya.

Sebagaimana dijelaskan oleh narasumber Bambang Irawan, pada saat ini kesenian Antan Delapan terdiri dari seorang penembang, delapan orang penari dan beberapa pemusik. Alat musik pengiring yang digunakan sudah lebih modern, seperti keyboard, gitar melodi, gitar rhtym, gitar bass, tamborin, dan gendang calti. Walaupun alat musik pengiring kesenian ini selalu berubah mengikuti zaman, akan tetapi ciri khas berbalas pantun dan pola ritme pukulan pada antan dan lesung tetap dipertahankan sejak dahulu.

Kesenian Antan Delapan yang merupakan kesenian berbalas pantun ini menggunakan istilah tembang untuk pantun yang dinyanyikan dalam pertunjukkannya.[2] Berdasarkan pengamatan pengkarya selama di lapangan, secara umum tembang pada kesenian Antan Delapan mengandung cerita tentang kegiatan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Muara Enim, dan bersifat fleksibel sesuai dengan yang membawakannya. Jika yang membawakannya merupakan pasangan antara laki-laki dan perempuan yang masih muda, maka pantun yang dibawakan akan mengandung cerita cinta antara muda-mudi. Akan tetapi jika yang membawakannya merupakan pasangan antara laki-laki dan perempuan yang telah berumur, maka pantun yang dibawakan akan mengandung cerita jenaka. Berbeda halnya jika yang membawakannya bernyanyi sendiri tanpa pasangan, maka pantun yang dibawakan akan mengandung cerita nasib. 

 Sebagai seorang putri daerah Kabupaten Muara Enim dan juga lulusan Institusi seni, saya merasa memiliki kewajiban untuk memperkenalkan kesenian daerah saya sendiri yaitu kesenian Antan Delapan ke masyarakat yang lebih luas. Hal ini juga berkaitan dengan isu yang sedang berkembang di Kabupaten Muara Enim saat ini, yaitu isu mengenai Kabupaten Muara Enim yang ingin berkembang menjadi kota wisata. Saya berharap melalui artikel ini saya dapat sedikit membantu terealisasikannya isu perkembangan yang baik ini, dengan menyajikan referensi tertulis tentang salah satu kesenian tradisional yang mungkin dapat dijadikan poin pengembangan dalam isu tersebut. 

Selain itu saya juga berharap artikel ini dapat menyulut api kebanggaan kita semua terhadap kesenian tradisional daerah kita masing-masing. Karena saya rasa, kita semua pasti akan merasa bangga saat kesenian tradisional daerah kita masing-masing dapat dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat yang lebih luas. Dengan rasa bangga ini, kita semua tentu akan memiliki rasa tanggung jawab untuk turut melestarikan kesenian tradisional kita tersebut. Sehingga kesenian tradisional tersebut akan terus beregenerasi dan tidak akan punah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun