Mohon tunggu...
Mita Yulia H (Mita Yoo)
Mita Yulia H (Mita Yoo) Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Penulis fiksi, karya yang telah terbit antara lain KSB, R[a]indu, dan Semerah Cat Tumpah di Kanvasmu Bergabung dalam beberapa komunitas menulis dengan dua puluhan buku antologi cerpen dan puisi Lihat karya lainnya di Wattpad: @mita_yoo Dreame/Opinia/YouTube: Mita Yoo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Buruk Sang Matahari

19 Juni 2021   08:51 Diperbarui: 19 Juni 2021   08:57 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bintang pemberi cahaya dunia mulai bergeser ke arah barat, menanggalkan semburat jingga yang perlahan digantikan gelap.

Seorang pewarta kembali mengabarkan tentang data-data pasien terinfeksi wabah yang sudah lebih dari empat belas bulan terakhir melanda negeri. Melalui kotak berbicara itu, Muhesan mengetahui kabar terbaru yang terjadi di negerinya.

Ia menyandang topi yang bisa melindungi kepalanya dari terik ataupun rintik kecil yang jatuh ke bumi. Berbekal beberapa pisang goreng dibungkus plastik buatan istrinya dan satu termos kecil kopi hitam dengan gula, ia meninggalkan rumah. Ia mulai menyalakan motornya dengan memberi tenaga engkol pada mesin motor Yamaha Poswan miliknya. Setelah memasang helm usang di kepala, Muhesan mulai melajukan motor.

Muhesan menyusuri jalanan yang aspalnya mulai tergerus masa. Jalan satu-satunya untuk menuju pantai di daerah Tanjung Kelayang. Jarak pantai tempatnya memanen hasil laut itu bisa ditempuh dalam waktu sekitar sepuluh menit dari kediamannya. Ia berdoa dalam hati, berharap banyak ikan yang bisa dibawa pulang.

Air laut mulai surut. Beberapa temannya menunggu di tepi pantai ketika Muhesan turun dari poswan miliknya. Perahu kecil yang akan mereka gunakan untuk memasang pukat -jaring untuk menangkap ikan- telah siap. Muhesan mengeratkan topi di kepalanya, bergabung bersama teman-temannya yang sudah menunggu. Di benaknya terbayang wajah ceria anak-anak yang akan menyambutnya ketika pulang.

Muhesan naik ke perahu dengan bantuan teman. Mereka mulai mendayung hingga kedalaman air dua meter. Jika teman-temannya tak pergi, Muhesan biasanya menyelam untuk bisa menyebar pukat.

Rombongan yang terdiri dari tiga orang itu mulai menyebarkan pukat. Mereka saling membantu. Satu menyebar, satu menjaga perahu, satu turun untuk menyelam.

Selagi menunggu, mereka bertukar cerita dalam kepul asap dan pekat kopi masing-masing. Muhesan memandangi angkasa yang mulai gelap. Bulan muda tersenyum di petala pandang tak terbatas.

"Sampai kapan pandemi ini ya? Kayak nggak ada tanda-tanda berakhir," Dedi, salah satu teman Muhesan berkeluh.

Asap keluar dari hidungnya. Muhesan masih menyimak pembicaraan kedua temannya itu.

"Anakku sampai sekarang masih sekolah online. Makai hape terus. Boros kuota jok," timpal Basir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun