Mohon tunggu...
Sari Meutia
Sari Meutia Mohon Tunggu... Penulis - CEO

Ibu rumah tangga yang juga penulis dan pekerja profesional. Senang masak, musik, dan--pasti, jalan-jalan. Bercita-cita memiliki toko kue yang asyik bila pensiun nanti.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Oxford: Kota Menara-menara Mimpi

21 Mei 2015   16:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="Ilustrasi/kompas.com"][/caption] London senantiasa membekaskan kenangan bagi saya. Bila pada April 2013, saya mendarat di London sehari sebelum proses pemakaman Margaret Thatcher, pada April 2015, saya tiba di London ketika rakyat Inggris sedang menanti hari kelahiran anak kedua Kate Middleton dan Pangeran Williams, yang akan menempati urutan keempat dalam posisi takhta kerajaan Inggris. Tentu tidak ada hubungan antara kunjungan saya dengan kedua peristiwa ini. Saya berkunjung  ke London terkait dengan Pameran Buku Internasional London yang berlangsung pada 14-16 April 2015. Bila pada 2013, cita-cita saya menonton opera di London tercapai, cita-cita saya ingin berkunjung ke Universitas Oxford (University of Oxford, UO), pada lawatan kali ini, pun tercapai. Tiket kereta api pulang balik London-Oxford hanyalah 16.7 poundsterling, berangkat hampir setiap jam dari stasiun Paddington London. Kereta api berhenti sebentar di stasiun Reading  untuk menurunkan penumpang,  dan lanjut ke Oxford. Saya bisa bebas menentukan jam pulang dari Oxford ke London dengan membeli open ticket. Di kiri kanan jalan saya menyaksikan pemandangan padang datar khas country side Inggris. Cita-cita ke Oxford ini hanya berdasarkan pengetahuan bahwa di sini terdapat University of Oxford dan Stephen Hawking pernah bersekolah di sini. Saya tidak sempat mem-browsing detail lebih jauh tentang Oxford. Karena itu, setiba di stasiun Oxford, saya bergegas ke bagian informasi mencari tahu bagaimana cara ke Universitas Oxford. Petugas informasi ini bertanya balik: “Kampus yang mana?” “Ya, kampus Oxford,” jawab saya (bayangan saya seperti kampus Institut Teknologi Bandung di jalan Ganesha). Petugas itu membentangkan peta wisata dan menunjukkan titik-titik yang ada di peta tersebut. Ada 38 kampus Universitas Oxford di kota ini, yang mana yang ingin kamu datangi? Saya terperangah. 38 kampus? Wah, waktu saya tidak banyak. Sore nanti saya harus kembali ke London, dan langsung menuju bandara untuk balik ke Indonesia. “Ok, mana kampus yang paling bagus?”, kejar saya. Dia menunjukkan beberapa titik dan menyarankan saya menaiki bis wisata hop on hop off supaya saya dapat mengelilingi kota Oxford dan berhenti sesuka saya, melihat-lihat, dan kemudian naik lagi hingga kembali ke stasiun kereta api untuk kembali ke London. Selain menghemat waktu, ini juga menghemat biaya. Dengan peta di tangan, saya menaiki bis, siap menjelajahi Oxford. Baru dua hentian, karena melihat pemandangan di kiri dan kanan, serta mendengar informasi dari headset yang disediakan, saya sudah ingin turun dan melihat-lihat. Akhirnya, melihat sebuah toko souvenir yang sangat mengundang di tepi jalan—karena mencantumkan Oxford official souvenirs store,  saya bergegas turun. Keputusan tepat turun di sini karena kawasan ini termasuk kampus yang layak dikunjungi. Selain ada café yang asyik dengan wifi, ada gedung kampus dengan kubahnya yang khas, perpustakaan, dan saat saya datang, sedang ramai berlangsung pertunjukan street-art tadisional dari mahasiswa. [caption id="" align="aligncenter" width="574" caption="Oxford: Kota Menara-menara Mimpi"]

[/caption] Tidak ada yang mencatat kapan tepatnya Universitas Oxford berdiri, hanya disebutkan bahwa pengajaran mulai berlangsung sejak 1096,  atau sudah  berumur lebih dari 900 tahun  (sebagai perbandingan, ITB berdiri pada 1920—belum lagi 100 tahun usianya), menjadikannya universitas berbahasa Inggris tertua di dunia, dan merupakan universitas kedua tertua di dunia yang masih ada hingga sekarang. UO merupakan collegiate research university (universitas riset untuk mahasiswa/S1) dan mulai berkembang pesat sejak 1167 ketika Henry II melarang mahasiswa Inggris mendaftar ke Universitas Paris. Setelah terjadi perselisihan antara mahasiswa dan penduduk Oxford pada 1209, beberapa pengajar pergi ke Cambridge tempat mereka mendirikan universitas yang kemudian menjadi Universitas Cambridge. Kedua “universitas kuno” ini sering dirujuk sebagai “Oxbridge”. Menjadi kota universitas, Oxford tidak memiliki kampus utama, alih-alih, semua bangunan dan fasilitas tersebar di seluruh pusat kota. Oxford menjadi rumah bagi beasiswa terkenal dunia, termasuk Beasiswa Clarendon yang diluncurkan pada tahun 2001, dan Beasiswa Rhodes yang telah meluluskan banyak lulusan selama lebih dari seabad (salah satu penerimanya, Bill Clinton). Universitas Oxford memiliki universitas penerbit terbesar di dunia dan sistem perpustakaan akademik yang terbesar di Inggris. Oxford telah melahirkan banyak alumni terkenal, termasuk 27 pemenang nobel (60 total afiliasi), 26 Perdana Menteri (yang terakhir David Cameron), dan banyak pemimpin dari luar negeri.  Sebelum tahun 1970, penerimaan mahasiswa perempuan dibatasi pada kampus-kampus yang hanya menampung perempuan, tapi pada tahun 1959, akhirnya semua kampus dapat menerima siswa perempuan sebagaimana siswa laki-laki. Saya menikmati perjalanan ke kota 38 kampus ini karena sejauh mata memandang, tersaji pemandangan--baik itu tebaran bangunan-bangunan klasik dengan menara-menara runcingnya, lapangan olahraga, perumahan asri dilengkapi taman,   rombongan mahasiswa bersepeda atau berjalan di jalanan yang bersih dan terawat, café, toko buku dan toko souvenir yang berjejer—menunjukkan keunikan kota ini sebagai kota kampus sekaligus kota wisata yang mengundang turis untuk berfoto, berbelanja souvenir, menonton sajian street-artnya yang menarik, atau sekadar menikmati sejarah klasiknya. Kita seperti sedang terlempar di sebuah abad pada masa Issac Newton duduk di bawah pohon apel menghitung gravitasi. Tepat sekali rasanya julukan yang diberikan oleh seorang penyair kepada Oxford: "city of dreaming spires (kota menara-menara mimpi)". Yang menarik lagi dari kota kampus ini adalah taman-taman universitasnya, yang mencapai 28 hektar. Dibuka untuk umum sepanjang hari, menghampirkan kebun dan tanaman-tanaman eksotik, lapangan olahraga dan kebun genetik—kebun eksperimen untuk penelitian proses evolusi. Bahkan kebun botaninya merupakan yang tertua di Inggris memiliki 8000 spesies tanaman yang berbeda, menjadikannya sebagai kebun yang paling beragam dan koleksi lengkap dari tanaman-tanaman di dunia. UO mempertahankan sistem perpustakaan universitas terbesar di Inggris dengan koleksi 11 juta volume buku di rak sepanjang 190 kilometer, Bodleian adalah perpustakaan terbesar kedua di Inggris setelah British Library. Hibah buku gratis dari setiap buku yang diterbitkan di Inggris membuat koleksi buku di Bodleian bertambah sepanjang 5 kilometer setiap tahun. Saya juga melewati toko buku yang sangat terkenal di Inggris karena sejarahnya, yang berawal dari Oxford. Toko buku Blackwell, didirikan pada tahun 1879 oleh Benyamin Henry Blackwell, mengalami sejarah panjang layaknya sebuah bisnis, dan sekarang memiliki 60 cabang di seluruh Inggris. Banyak penulis di Inggris mengawali sejarahnya di penerbitan Blackwell, misalnya JRR Tolkien yang menerbitkan puisi pertamanya, Goblin’s Feet di sini. Blackwell juga yang mengawali penjualan buku murah. Oxford telah menduduki peringkat 10 universitas terbaik di dunia dalam berbagai tabel dan secara rutin berkompetisi dengan Cambridge untuk menduduki rangking pertama di Inggris.  Secara khusus, Oxford menduduki pringkat pertama di Times Good University Guide selama 11 tahun berturut-turut, dan mempertahankan posisi pertama di "Clinical, Pre-Clinical & Health" dariTHE World University Rankings selamat tiga tahun berturut-turut. Lebih jauh lagi, OU diakui sebagai “6 Super Brand” dunia oleh majalah Times sejak 2011 ketika pertama kali mengeluarkan tabel peringkat universitas. Dengan deretan prestasi seperti itu, sejarahnya, keindahannya, rasanya lengkaplah sudah semua yang dicita-citakan sebuah kampus. Layaklah menjadikan kota 38 kampus ini dan seluruh isinya menjadi sebuah destinasi wisata. Bukankah begitu? [] Sari Meutia, 21 Mei 2015. [caption id="attachment_366982" align="aligncenter" width="300" caption="Oxford: Kota Menara-menara Mimpi"]
14322014611058937132
14322014611058937132
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun