Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perselingkuhan, Poligami, Perceraian: Siapa yang Salah?

5 November 2019   17:16 Diperbarui: 5 November 2019   17:47 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita fiksi layangan putus masih menjadi trending topic hangat di media online, baik media sosial, maupun media masa, sejak kemarin, 4 November 2019. Berikut singkat cerita fiksi tersebut.

Suami, yang merupakan pemilik channel youtube dakwah, tidak ada kabar selama 12 hari. Istri mencari kemana-mana, hingga suami pulang. Tetap tak ada kabar. Singkat cerita, diketahui ternyata suami menikah lagi dengan perempuan lain. Setelah satu setengah tahun menjalani hidup di poligami, istri menggugat cerai suami. Dengan empat anak, harusnya lima tetapi yang satu meninggal, ia harus menghidupi keempat anaknya tersebut.

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin bergelut dengan kisah yang mengiris hati tersebut. Terlepas, apakah benar itu kisah fakta atau fiktif, atau terlepas juga apakah benar suami yang dimaksud adalah pemilik ammar tv, terlepas juga apakah benar istri kedua adalah Lola Diara, dan sekarang melaporkannya ke polda metro. 

Bagi saya pribadi kebenaran-kebenaran terkait fakta tersebut tidak begitu penting untuk dibahas, tetapi tragedi perselingkuhan, poligami, dan perceraian ini sudah menjadi budaya masyarakat, bahkan bagi saya penyakit masyarakat.

 Poligami yang dilakukan Rasulullah SAW setelah Khadijah meninggal, bukan untuk menyenangkan hawa nafsunya, tetapi dalam rangka mengajarkan kepada umatnya untuk mempelajari bagaimana menjadi istri yang baik sesuai karakternya. Demikan menurut kompasianer, Syarifah Lestari.

Niat dan tujuan poligami yang dilakukan Rasulullah tersebut berbeda dengan niat dan tujuan poligami yang marak akhir-akhir ini. Dengan bersandarkan pada alasan, mengikuti jejak Rasulullah, entah mereka yang baru mengetahui istilah hijrah, atau baru merasa sedang hijrah, memuaskan keinginannya untuk menambahkan istri, alias poligami. Mereka getol mengkaji poligami, dari hukumnya, hingga tatacaranya. Hingga mereka melupakan janji pernikahan yang terucap saat ijab qabul.

Aktifitas keinginan poligami tersebut tidak hanya menyasar kepada orang yang baru hijrah, bahkan menyasar pula dikalangan ustadz, pejabat, dosen, bahkan mahasiswa. Kadang istilah itu malah menjadi bahan candaan, "kapan nambah?" demikian yang pernah saya dengar dari percakapan lingkungan.

Bahkan tidak jarang, istri menawarkan poligami kepada suami, lantaran karena istri ingin dianggap sebagai perempuan yang rela dan ikhlas agar kelak memperoleh surga di akhirat. 

Motivasi ajaran agama yang menjadikan istri termotivasi mencarikan suaminya istri lagi. Ini terjadi pada kawan saya, dimana dia menawarkan kepada teman-temannya siapa yang mau jadi istri kedua, ketiga, bahkan keempat, suaminya. Bagaiamana bisa dia seyakin itu untuk benar-benar akan rela dan ikhlas, serta tabah andai hal tersebut terkabulkan? Entahlah.

Kasus lain yang terjadi pada seorang hafidzah cantik yang harus rela menjadi istri kedua seorang laki-laki kaya raya, yang ternyata belum ijin istri pertama untuk poligami. 

Mengetahui hal itu, hafidzah cantik yang akhirnya ditinggal suaminya tanpa kabar, dan kemudian diketahui suaminya ini meninggal, sedang posisi dia sedang hamil, merasa dirinya seperti pelacur. Bayangkan, betapa berat cobaan yang diterima hafidzah cantik ini, hingga akhirnya Allah memberinya kado suami keduanya yang siap menerima dia apa adanya. Link untuk cerita ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun