Beberapa tahun yang lalu, kawan-kawanku begitu mengagumimu. Begitu bahagia tatkala kau menyapa mereka dengan senyum wibawamu. Aku hanya diam, tak peduli denganmu.
Lalu takdir Tuhan, membiarkanmu mengenalku dan membiarkanku bersandar masa depan padamu. Proses demi proses terjadi, dan aku mulai tahu bebanmu. Beban yang terkadang membuatmu tak ingat padaku.
Dua tahun berlalu, aku selalu bersorak riang tatkala namamu muncul di layar handphoneku. Bersorak riang tatkala kau menyapaku, memanggil namaku.
Aku selalu merasa bangga karena takdir Tuhan, mendekatkanku padamu. Saat aku bersamamu, yang ada dibenakku hanyalah mereka iri padaku, karena aku bersamamu.
Dua bulan yang lalu, kau memberi janji padaku, aku merasa memiliki masa depan lebih baik melalui janjimu. Tapi setelah dua bulan berlalu itu, namamu tak menghiasi layar handphoneku lagi. Aku pun tak berani menemuimu atau menghubungimu. Aku memilih sembunyi darimu. Aku takut menjadi bebanmu.
Lalu hari ini, kau muncul lagi di layar handphoneku, memintaku untuk menemuimu. Tapi hatiku tak bersorak seperti dulu.
Aku melihat wajahmu, wajah dua bulan lalu, tak berubah. Masih ada tumpukan beban di wajahmu. Dan lagi-lagi, kau masih peduli. Kembali memberi janji kehidupan kepadaku.
Tapi hatiku kini tak seperti dua bulan lalu. Aku sudah tak peduli dengan janji itu. Aku bahkan takut bertemu kamu. Takut menjadi bebanmu.
Aku hanya ingin kau tau, aku baik-baik saja, jadi jangan terlalu peduli denganku.