Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal "Toxic Parenting" dan Selusin Tandanya

1 Juli 2020   21:16 Diperbarui: 1 Juli 2020   21:20 4316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak yang menjadi korban toxic parenting (sumber: schoolofparenting.id)

#6 Tidak memberi ruang bagi ekspresi negatif

Masih ingat dulu dibilang "anak laki-laki gak boleh nangis?" Apa efeknya sekarang? Kebanyakan laki-laki tidak berani menunjukkan perasaan sebenarnya. Laki-laki yang menangis dianggap cengeng. Pada hal, menangis adalah ekspresi paling natural saat bahagia.

Orangtua sering khawatir menunjukkan emosi negatif terhadap anak. Takut bahwa anak akan merasa menderita dan sedih. Anak tidak pernah melihat orangtua menangis. Anak akan menangkap bahwa orang dewasa tak boleh menangis. Menjadi dewasa itu menyedihkan, tidak boleh menunjukkan ekspresi sedih.

Lalu setelah ia dewasa, anak akan berusaha untuk tidak menangis. Dan saat ia tak mampu lagi untuk tidak menangis, gambaran dirinya berubah menjadi seseorang yang rapuh, lemah tak punya kekuatan.

Bukan bermaksud untuk sengaja menunjukkan tangisan di depan anak-anak, namun orangtua perlu jujur menunjukkan ekspresi sedih dan menunjukkan bahwa orangtua dapat mengatasinya, sehingga anak pun dapat melihat cara orangtua mengatasi emosi negatif.

Anak-anak yang dibesarkan dengan ekspresi emosi yang terungkap dan terkendali akan memiliki pengetahuan emosional yang lebih baik dan cenderung mampu mengatasi emosi negatif dalam dirinya.

#7 Menakut-nakuti anak

Masih ingat dulu kita sering ditakut-takuti dengan cerita hantu atau cerita lain yang bertujuan untuk menakut-nakuti kita agar menghindari sesuatu. Ada yang ditakut-takuti agar rajin beribadah, ada yang ditakut-takuti agar tidak memakan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Saya masih ingat dulu ditakut-takuti kalau suka mengekor orangtua nanti ditangkap polisi. Sampai sekarang saya malah tidak suka sama polisi. Atau ditakut-takuti nanti disuntik sama dokter. Ada yang selalu takut sama dokter.

Menakut-nakuti anak bukanlah hal yang baik. Menyampaikan hal apa adanya sesuai dengan kemampuan anak memahami tentu lebih baik. Anak akan menjadi takut pada sesuatu yang ternyata tidak benar. Anak akan membangun citra negatif pada hal tersebut.

Terlebih masalah hantu. Orangtua saya tidak menakut-nakuti saya dengan cerita hantu. Sehingga, waktu kecil, saat malam harus ke kamar mandi pun saya tidak takut. Bahkan jika sendirian di rumah saya tak pernah membayangkan hantu ada di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun