Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sisi Lain PPDB Zonasi: Kami Mungkin Tak Bersekolah Lagi

30 Juni 2020   12:34 Diperbarui: 30 Juni 2020   12:48 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi orang tua terkait PPDB Zonasi (sumber: radarsurabaya.jawapos.com)

Senin, 29 Juni 2020, hasil seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Provinsi Sumatera Utara untuk jalur zonasi telah diumumkan. Setiap sekolah telah menerima hasil seleksi yang telah ditetapkan oleh panitia seleksi dari dinas pendidikan setempat untuk selanjutnya ditetapkan menjadi peserta didik baru Tahun Pelajaran 2020/2021.

Untuk provinsi Sumatera Utara sendiri tidak terjadi hiruk pikuk seperti yang terjadi di DKI Jakarta. Tak ada demo, tak ada kisruh di dinas pendidikan. Sepertinya semua berjalan baik dan dapat diterima.

Air yang permukaannya tenang belum tentu tak ada gejolak arus di dalamnya. Mungkin hal ini juga menjadi gambaran hasil PPDB ini. Terlihat adem, namun tetap saja ada masalah yang timbul di dalamnya.

Pagi, sesuai jadwal pengumuman hasil seleksi PPDB, ramai-ramai calon siswa dan orang tua membuka aplikasi PPDB Disdik Sumut. Namun hasilnya sangat mengejutkan. Setiap peserta yang membuka menerima hasil tidak lulus. Bahkan yang jarak rumahnya dengan sekolah hanya beberapa puluh meter pun ternyata tidak lulus.

Sontak ini menyebabkan kepanikan. Dan semua bertanya-tanya, jika calon siswa (casis) yang tinggal dekat lingkungan sekolah saja tidak lulus, lalu siapa casis yang lulus? Tinggalnya di mana? Bukannya zonasi prinsipnya menyeleksi casis berdasarkan jauh dekatnya jarak tempat tinggal dengan sekolah? Ramailah sekolah diduyun warga, social distancing tinggal cerita.

Lain lagi dengan cerita Ridho, casis yang rutin berkomunikasi dengan saya sejak dimulainya pendaftaran PPDB jalur zonasi. Mengingat saya adalah salah satu Personal Contact dalam PPDB sekolah, maka memang ramai melayani pertanyaan seputar PPDB dari casis. Ridho salah satunya.

Jarak terdekat yang cukup jauh

Ridho tinggal di jarak yang cukup jauh dengan sekolah. Sekolah kami justru adalah sekolah terdekat dengan tempat tinggal Ridho dan anak-anak lain yang tinggal di wilayah yang sama dengan Ridho.

Pertarungan PPDB jalur Zonasi ini sebenarnya ancaman bagi anak seperti Ridho. Bagaimana tidak, jauhnya tempat tinggal dengan sekolah akan menyebabkan nilai zonasinya rendah dan kemungkinan untuk diterima menjadi sangat kecil.

Belum lagi casis yang tinggal di wilayah sekolah sangat banyak. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa yang tinggal di sekitar sekolah sudah menyegel tempat di daftar casis yang akan lulus, kecuali ada kesalahan dalam pendaftaran.

Belum lagi casis yang menumpang ke Kartu Kerluarga penduduk di sekitar sekolah sejak setahun sebelum PPDB jalur zonasi dibuka. Ada lagi yang menggunakan surat keterangan domisili yang dikeluarkan oleh lurah yang entah benar atau tidak tak dapat dipastikan kebenarannya. Maka jadilah perjuangan Ridho untuk dapat diterima menjadi sangat tipis. Lebih titpis dari yang sudah tipis.

Semangat Ridho tak surut. Saya tetap bimbing hingga pendaftaran PPDB online terslesaikan dan memastikan semua tahap telah diisi dengan benar. Selesai, dan tinggal menunggu pengumuman. Formulir C1 pun sudah dicatak, sebagai bukti sudah mendaftar.

Menunggu hasil pengumuman memang bikin jantungan. Tak hanya Ridho, saya yang hanya bertugas mengandalkan gawai saja juga deg-degan. Bagaimana tidak, subuh pun casis sudah sibuk menghubungi saya. Sekedar bertanya jam berapa pengumuman bisa diakses.

Belum lagi server yang down sehingga hasil yang muncul tak seperti yang diharapkan. Harus sabar menjelaskan satu per satu ke casis agar sabar menunggu. Beberapa jam setelahnya, server sudah up kembali dan hasil seleksi pun sudah dapat dilihat.

Nama-nama siswa yang dinyatakan lulus bermunculan. Akun PPDB siswa pun sudah memunculkan kata "lulus". Casis yang tinggal di sekitar sekolah pun sudah mendapat label "LULUS". Gawai saya pun ramai kembali dengan pertanyaan langkah apa selanjutnya setelah ditanyakan lulus.

Zonasi yang memutus harapan

Di antara begitu banyak pesan masuk di gawai saya, salah satu yang memilukan hati saya adalah pesan dari Ridho.

"Pak, saya tidak lulus. Kira-kira masalahnya apa ya pak?" Harus bagaimana lagi saya menjawabnya? Mencari kalimat paling mudah yang bisa diterima seseorang yang putus harapan, semoga balasan saya dapat membuatnya mengerti. Tak puas dengan jawaban saya, Ridho mendatangi sekolah. Hasilnya sama.

Malam hari, Ridho masih berupaya menghubungi saya. "Pak, gak bisa bapak bantu saya?" pesannya memulai percakapan kami. "Membantu seperti apa Ridho? Kalau bisa, bapak pasti akan bantu."

"Bapak kan guru di sana, gak bisa bapak usahakan saya masuk ke sekolah bapak?" pilu nya hati ini. "Bapak tidak bisa mengubah hasilnya Ridho, itu sudah diputuskan panitia dan sekolah hanya tinggal menerima. Tidak dapat menambah siswa yang lulus." Sejenak diam.

"Pak, gak bisa ya kita ulangi lagi pendaftarannya?" beberapa menit kemudian pesannya masuk lagi. "Aplikasinya sudah ditutup nak, sudah gak bisa lagi mendaftar." "Ohh, yaudahlah pak. Makasih ya pak sudah bantu saya." Ada nada menyerah dalam kalimatnya.

Saya malah tak tenang dibuatnya. Saya coba beri semangat. "Tetap semangat ya nak. Bapak berharap Ridho tetap sekolah." Tak tahu apa ini akan memberinya semangat. "Tinggal itu harapan saya sekolah Pak." Waduh.

"Loh, kan masih bisa sekolah di tempat lain." Bagiku terasa mudah. "Sekolah swasta mahal Pak, lagi pula lebih jauh. Sekolah bapaklah paling dekat dan satu-satunya harapan saya bisa sekolah." Ya ampun saya bisa bayangkan susahnya.

"Orang tuamu kerjanya apa Ridho?" penasaran saya. "Cuma nelayan pak. Kata ibu, kalau tak diterima di sekolah bapak saya disuruh cari kerja saja." Saya menghela napas panjang. Saya bisa bayangkan keadaanya. Anak nelayan, hidup pas-pasan, rencana sekolah mungkin menumpang untuk sampai ke sekolah, atau jalan kaki puluhan kilometer demi sekolah.

Sekolah terdekatnya justru menolak, sekolah yang jauh apalagi. Mau sekolah ke swasta? Bisa makan saja sudah syukur. Belum lagi jauhnya dan harus ngekos.  Akhhhhhhhh sudahlah. Mau pecah kepala saya memikirkannya.

Ridho adalah gambaran anak-anak korban penerapan sistem zonasi dalam PPDB. Alih-alih meratakan kualitas pendidikan, sistem zonasi malah memutus harapan mereka. Dulu saat zonasi belum diterapkan, anak-anak seperti Ridho masih punya harapan untuk bersaing. Mereka belajar sungguh-sungguh agar nilainya mampu menembus jalur masuk sekolah harapan mereka. Hanya sekolah itu harapan mereka.

Beda dengan casis lain di sekitar sekolah kami. Mereka masih punya banyak pilihan. Jika tidak lulus, mereka dapat melanjutkan sekolah di sekolah swasta yang lebih dekat dan memang ada di sekitar mereka. Bagi Ridho? Tak lulus PPDB zonasi ya mengubur impian mereka untuk bisa sekolah.

Malam sebelum tidur, saya masih menerima pesan singkat dari Ridho. "Pak misalnya sudah masuk sekolah nanti, ada siswa yang berhenti, gak bisa saya menggantikannya Pak? Saya mau sekolah Pak."

Oh Tuhan, apa yang harus saya lakukan?

ST, Djb June

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun