"Loh, kan masih bisa sekolah di tempat lain." Bagiku terasa mudah. "Sekolah swasta mahal Pak, lagi pula lebih jauh. Sekolah bapaklah paling dekat dan satu-satunya harapan saya bisa sekolah." Ya ampun saya bisa bayangkan susahnya.
"Orang tuamu kerjanya apa Ridho?" penasaran saya. "Cuma nelayan pak. Kata ibu, kalau tak diterima di sekolah bapak saya disuruh cari kerja saja." Saya menghela napas panjang. Saya bisa bayangkan keadaanya. Anak nelayan, hidup pas-pasan, rencana sekolah mungkin menumpang untuk sampai ke sekolah, atau jalan kaki puluhan kilometer demi sekolah.
Sekolah terdekatnya justru menolak, sekolah yang jauh apalagi. Mau sekolah ke swasta? Bisa makan saja sudah syukur. Belum lagi jauhnya dan harus ngekos. Â Akhhhhhhhh sudahlah. Mau pecah kepala saya memikirkannya.
Ridho adalah gambaran anak-anak korban penerapan sistem zonasi dalam PPDB. Alih-alih meratakan kualitas pendidikan, sistem zonasi malah memutus harapan mereka. Dulu saat zonasi belum diterapkan, anak-anak seperti Ridho masih punya harapan untuk bersaing. Mereka belajar sungguh-sungguh agar nilainya mampu menembus jalur masuk sekolah harapan mereka. Hanya sekolah itu harapan mereka.
Beda dengan casis lain di sekitar sekolah kami. Mereka masih punya banyak pilihan. Jika tidak lulus, mereka dapat melanjutkan sekolah di sekolah swasta yang lebih dekat dan memang ada di sekitar mereka. Bagi Ridho? Tak lulus PPDB zonasi ya mengubur impian mereka untuk bisa sekolah.
Malam sebelum tidur, saya masih menerima pesan singkat dari Ridho. "Pak misalnya sudah masuk sekolah nanti, ada siswa yang berhenti, gak bisa saya menggantikannya Pak? Saya mau sekolah Pak."
Oh Tuhan, apa yang harus saya lakukan?
ST, Djb June