Mohon tunggu...
Sari Agustia
Sari Agustia Mohon Tunggu... Penulis - IRT, Penulis lepas

Tia, pangillan akrabnya, menekuni menulis sejak tahun 2013 sampai sekarang. Sebuah karyanya, novel Love Fate, terbit di Elex Media Komputindo pada tahun 2014. Saat ini aktif menulis bersama beberapa komunitas dan Indscript Creative

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Cara Bermedia Sosial demi Kesehatan Mental Terjaga

22 November 2021   19:51 Diperbarui: 28 November 2021   09:46 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi desain pribadi

Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. 

Namun, bagaimana jika jiwa kita yang sakit? Tidak seimbangnya tubuh dan jiwa pun akan bisa berdampak bagi satu dengan yang lain.

Kesehatan jiwa, atau mental, menjadi banyak perbincangan, terutama semenjak pandemi melanda. Kesehatan mental erat kaitannya dengan kemampuan mengelola stres, emosi, bereaksi terhadap sesuatu, atau mengambil keputusan. Sebaliknya, keadaan yang kurang baik menanggapi sesuatu akan menyebabkan terjadinya gesekan dalam komunikasi sosial.

Kesehatan mental juga menjadi penting karena sering penderita tidak menyadari atau mengingkari keadaannya. Secara kasat mata, semua hal pada dia tampak baik. Namun, dalam waktu yang lama akan dapat menimbulkan impak yang besar, tak hanya berdampak sosial, tetapi menyebabkan penyakit medis yang harus melalui tahap pengobatan. 

Dalam masa tak sadar atau ingkar, penderita bukan menghindari sumber, justru tetap setia padanya. Misalnya saja, sudah tahu berada dalam lingkungan toxic grup pertemanan, tetapi tetap mengikutinya. Atau tetap berada di tempat kerja penuh persaingan tak sehat, yang membuat diri tidak berkembang, hanya karena takut susah dapat kerja.

Situasi mirip sering juga kita alami di lingkup media sosial. Meski tidak bertemu muka, keadaan lingkungan media sosial bisa jadi toxic juga bagi kita jika kurang pandai menyikapinya. Seberapa sering kita merasa cemburu dengan kebahagiaan yang teman tampilkan di Instagramnya? 

Seberapa stres kita jika prestasi dibandingkan dengan sepupu di grup WhatsApp keluarga? Atau seberapa ikhlas kita memberi like dan komentar di halaman media sosial tanpa ada embel-embel "kewajiban" sebagai teman dunia maya? Kalau level cemburu, stres, dan kurang ikhlasnya tinggi, maka media sosial itu sudah jadi lahan toxic buat kita. 

ilustrasi desain pribadi
ilustrasi desain pribadi

Lalu apa yang bisa kita lakukan supaya sumber penyakit mental berkurang?

Kurangi penggunaan gadget

Mau tak mau, jika itu sumber stres, kita harus dihindari. Hal yang paling efektif mengurangi aktivitas media sosial adalah mengurangi kadar pemakaian gadget itu sendiri. Cari kegiatan lain yang kita senangi, misalnya membaca buku, menonton film, berkebun, atau memasak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun