Orang tua zaman dulu, mereka lebih suka membaca buku fisik dibandikan buku digital. Karena di zaman mereka hidup, teknologi saat itu tak secanggih sekarang. Sehingga untuk mencari informasi, mereka akan membeli buku ataupun koran. Hal itulah adanya istilah buku adalah jendela dunia. Berbeda dengan sekarang. Kalau sekarang, di mana ada internet, maka di situlah aku ada.Â
Kemudahan-kemudahan tersebut tak lantas untuk beralih ke buku digital. Ditambah pada saat kuliah, banyak dosen yang meminta mahasiswanya untuk membeli buku yang terkait dengan mata kuliah. Faktor tersebutlah yang menjadi kebiasaan saya untuk berburu buku sampai sekarang.Â
Saat saya berkumpul dengan teman saya, ia mencoba menyarankan untuk mencari buku dari platform online. Karena selama 2 tahun ini, dunia mengalami bencana pandemi. Saran itu coba saya niatkan. Namun niat tetaplah niat tanpa ada realisasi. Karena faktor kebiasaan saya yang lebih suka berkeliling ke toko fisik.Â
Teman saya juga seorang penulis. Ia sempat bergabung dengan beberapa penulis untuk sebuah proyek membuat sebuah buku.Â
Saat bukunya jadi, saya ditawarkan untuk membeli buku mereka karena buku tersebut berformat e-book. Entah kenapa saya langsung menolak mentah-mentah.Â
Ia sambil bercanda mengejek saya "wong ndeso". Lalu saya balas dengan candaan, "Lah emang wong ndeso gak boleh baca buku?"
Bagaimana tidak? Ketika membaca buku, saya lebih terbiasa membaca buku fisik dibandingkan buku digital.Â
Bob Brown. Namun proyek e-book dapat di realisasikan pada tahun 1970 oleh Michael Stern Hart melalui jaringan ARPANET.Â
Sejarah e-book sendiri telah ada di tahun 1930 olehIa dikenal sebagai penemu e-book. Peningkatan peminat e-book sendiri mulai meningkat di Amerika sekitar 23% pada tahun 2012.
Pesatnya teknologi juga diiringi oleh ketersediaan e-book. Selain itu, media pemberitaan juga banyak yang beralih ke media internet. Sehingga peminat koran mulai turun drastis walaupun sampai sekarang peminat koran masih ada.Â