Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Filosofi Jendela Kamar

26 September 2021   21:24 Diperbarui: 26 September 2021   21:28 2133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jendela Kamar yang terbuka, Gambar dari Internet, deviantart.com

Malam bertabur bintang, ditemani angin sepoi dan gerimis yang menjilat, membasahi rerumputan. Pandi, seorang penikmat kopi dan pecandu rokok berdiri sambil pangku tangan menatap keluar rumah. Ia berkhayal di sudut kamarnya, sambil menatap awan kelam lewat jendela yang sengaja ia buka.

Walaupun malam berisik dan risau, ia tetap membiarkan jendelanya terbuka. Dan itu akan dibiarkan terbuka sampai selamanya. Menurutnya, orang yang selalu membuka jendela kamar adalah orang yang baik dan terbuka.

Analoginya sederhana, kamar itu sama seperti hati seseorang, dan orang yang membiarkan hatinya dipandangi oleh orang lain adalah orang yang benar-benar memiliki hati, orang yang baik, dan orang yang pemurah, orang yang ramah. Pandi memang kadang suka aneh-aneh dalam berpikir! Kok bisa-bisanya kamarnya disamakan dengan hati.

Ketika suatu hari saya masuk ke kamarnya dan menanyai alasan perihal jendela kamarnya tersebut. Ia berceloteh panjang, "saya seorang penikmat malam, penikmat siang, penikmat bulan-bintang, penikmat matahari, penikmat angin, penikmat gerimis, penikmat terik, penikmat senja, penikmat hujan, penikmat dingin dan penikmat segalanya.

Bahkan kakakmu yang ganteng ini lebih dari seorang penikmat, kakak adalah seorang pencinta yang sejati. Pecandu yang tak mau sembuh. Kakak tidak akan pernah menutup jendela kamar, kakak membiarkan semua hal, entah baik buruk yang kakak sebut sebagai candu atau nikmat itu masuk ke dalam kamar kakak, masuk ke dalam hati kakak, masuk ke dalam kehidupan kakak".

Sebagai seorang adik bungsu, tentu saya iba dengan kakak yang memiliki kebiasaan buruk ini -- yeah -- walaupun buruknya hanya dari paradigma berpikir saya, bagi si kutu buku dan penggemar sastra ini 'untuk memahami arti penderitaan, seseorang harus menderita, jika ingin memahami cinta, dia juga harus mencintai'.

Dia memahami bahwa segala sesuatu yang ingin kita peroleh, harus kita perjuangkan. Dan perjuangan itu harus diwarnai dengan rasa, sense katanya. Menurutnya lagi, semua orang bisa membeli harta, tapi tidak seorangpun bisa membeli rasa. Rasa hanya bisa diperoleh dari perjuangan menghargai semua hal dalam hidup. Orang yang memiliki rasa akan mencintai semua hal, entah jahat atau pun yang baik.

Selama saya masih menjadi anak SMP, saya akan susah memahami setiap percakapan dengan kakak pencinta filsafat dan ilmu retorika ini. Dia satu-satunya orang dalam rumah kami yang berkesempatan belajar filsafat di sebuah sekolah tinggi filsafat. Ia sangat mencintai filosofi sebab-akibat. 

Filosofi sebab-akibat sangat menyatu denganya, bahkan mengalir dalam urat nadi Pandi. Ia percaya setiap hal punya penyebabnya, dan selalu menimbulkan akibat, dan setiap akibat punya penyebabnya. Dia selalu membuka jendela karena ia memiliki alasannya, dan ia tahu apa akibatnya.

Ia juga paham setiap hal yang dilakukan akan punya akibatnya. Ia percaya jika ia melakukan hal baik pada orang lain, maka ia juga pasti akan mendapat perlakuan yang baik. Hal ini yang menjadi tesis dasar mengapa ia selalu membuka jendela. Ia mencintai alam semesta, dan ia ingin berbuat baik pada mereka dengan membiarkan mereka masuk dalam kamarnya. Aneh memang sih... tapi itulah yang terjadi!

"Ka, kenapa sih kak nggak pernah tutup jendela setiap tidur malam hari"? tanyaku  lagi di kamar makan saat sarapan pagi bersama. Beruntungnya pagi ini kami makan bersama Papa dan Mama. Biasanya Papa dan Mama selalu sibuk, dan sejak subuh sudah meninggalkan rumah menuju kantor masing-masing. Sebagai putera bungsu dari tiga bersaudara, saya merasa sedikit beruntung dengan adanya pandemi covid-19, akhirnya saya lebih banyak waktu bersama malaikat tanpa sayap dan kedua kakak saya yang punya karakter 'gila-gilaan' -- bukan gila benaran yeah --  dan aneh-aneh ini.

"Kamu kepo banget yeah Ancis! Bukannya semalam kakak sudah berikan alasannya kan? Nanti dulu baru kita cerita lagi ya, sekarang sarapan dulu, kasihan tuh mama sudah siapkan mie dan telur untuk kita, udah lama juga nunggu kita di sini. Ayo makan!" Bukannya menjawab pertanyaan saya, Pandi malah sibuk makan.

"Yeah ayo makan semuanya! Mama udah siapin sarapan kesukan kalian ni! Limabelas menit lagi mama ada meeting via zoom di kamar tamu. Kalian jangan berisik ya" tambah mama.

"Iya mama" jawab kami bertiga kompak.

"Nanti papa juga ada rapat ya, rapatnya juga dari rumah kok. Kalian siapkan diri untuk belajar di kamar kalian masing-masing" ujar papa sambil menatap kami semua yang duduk melingkar di meja makan.

"Kamu Pandi gimana skripsinya, udah sampai bab terakhir ya?" tanya Papa pada Pandi.

"Sudah fix semua Pa, sudah ujian dua minggu lalu kok! Maaf ya Pandi tidak memberitahukan Papa dan Mama. Saya ujianya di kamar via zoom juga kok. Mario sama Ancis juga nggak saya beritahu! Nggak mau ngerepotin kalian" jelas kak Pandi.

"Sejak kecil dulu kakak bermimpi bertemu tentang diri kakak yang berdiri dekat jendela tanpa busana. Saat itu sedang hujan, anehnya juga pada saat yang sama sedang terjadi angin besar. Hujan membasahi diri kakak yang berdiri dekat jendela. Setelah hujan matahari langsung menyengati tubuh kakak. Kakak basah keringatan. Setelah semuanya reda, kakak bermimpi dalam mimpi, seorang pria berambut panjang dan gimbal memberikan sebuah kalimat yang sangat menarik dan itulah yang mengubah kehidupan kakak sejak hari itu. Kalimatnya demikian, 'jika engkau mencintai hujan, lalu mengapa ketika hujan datang engkau mengenakan payung untuk melindungi dirimu? Jika engkau mencintai matahari, lalu mengapa engakau memilih berteduh di bawah naungan pohon ketika matahari menyinari bumi? Jika engkau mencintai angin, mengapa juga engkau mengenakan sweater atau kain selimut di saat istirahat malam? Kau lahir dalam keadaan telanjang, dan kau akan menghakiri hidupmu dalam keadaan telanjang pula, sebaiknya engkau tidak perlu menutup jendela mu ini, saya ingin engkau merasakan setiap tetesan air hujan, setiap embusan angin, setiap keringat dibawah terik matahari. Setiap rasa yang kau rasakan tidak bisa dibayar oleh apapun juga. Kau hanya bisa membayar tenaga setiap orang, bisa membayar waktu setiap orang, tapi kau tidak bisa merasakan perasaan yang setiap orang rasakan, itulah filosofi hidup yang dipelajari dari jendela versi saya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun