Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Visa Hati Nurani: Mengenang Aristedes de Sousa Mendes

13 September 2021   19:01 Diperbarui: 13 September 2021   19:16 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari: sousamendesfoundation.org

Pada tulisan ini saya ingin menceritakan seorang tokoh yang juga sempat direkam dalam sejarah perjalanan dunia. Tokoh yang saya yakini sangat familiar di kalangan sejarahwan. 

Dia adalah Aristides de Sousa Mendes do Amaral e Abranches  (19 Juli 1985 -- 3 april 1954), lazim dijuluki 'malaikat dengan stempel karet'. Bagaimana kisahnya?  Kok Ia sekarang dijuluki sebagai seorang pahlawan besar pada masa Perang Dunia kedua (1939-1945)? 

Kisahnya bermula ketika konsulat Portugis ditempatkan di Bordeaux, Prancis, Aristedes ditugaskan di sana sebagai seorang diplomatnya. Sekitar bulan Mei dan Juni 1940 ribuan pengunsi berusaha melarikan diri dari kengerian mesin perang Nazi. 

Saati itu Ia mencetak visa untuk teman baiknya Rabi Chaim Kruger dan seluruh keluarganya agar terhindar dari kejaran Nazi. Sayangnya pertolongannya ditolak oleh sahabatnya ini. Rabi Chaim akan menerimanya jika ribuan jemaatnya juga diperkenakan untuk memiliki visa. 

Terinspirasi dari penolakan Rabi, akhirnya Mendes memutuskan untuk mencetak ribuan Visa dengan konsekuensi dibebas tugaskan dari jabatannya sebagai diplomat. Karena tindakan pembangkangannya, Sousa Mendes dihukum berat oleh Salazar, dilucuti dari posisi diplomatiknya dan dilarang mencari nafkah. 

Dia memiliki lima belas anak, yang masuk daftar hitam dan dicegah untuk masuk universitas atau mencari pekerjaan. Dengan keadaan ini, keluarga yang dulunya merupakan keluarga termasyhur dan dihormati -- salah satu keluarga besar Portugal -- dihancurkan. Rumah leluhur keluarga tersebut, yang dikenal sebagai "Casa do Passal," diambil alih oleh bank dan akhirnya dijual untuk menutupi hutang.

Ribuan orang Yahudi yang menemuinya dan meminta kepadanya untuk dibuatkan visa menjadi pilihan dilematisnya. Dia terjebak antara taat pada aturan hukum atau mengikuti panggilan nuraninya. 

Kaum Yahudi yang sangat membutuhkan visa untuk bisa keluar dari Perancis, dan visa Portugis akan memungkinkan mereka melewati Spanyol ke Lisbon, ibu kota Portugal, di mana mereka dapat menemukan kebebasan untuk mengungsi dan 'melarikan diri' ke negara lain. Aristedes berada dalam situasi dilemma. Pilihan Aristedes ialah memutuskan untuk tetap menerbitkan visa. 

Kita berpikir bahwa tindakan membuat visa adalah hal yang sederhana dan mudah, tetapi tindakannya ini sebenarnya dengan terang-terangan menentang keputusan pemerintah Portugal. 

Portugal yang secara resmi bersikap netral di bawah pemerintahan Antonio de Oliviera Salazar mengeluarkan perintah kepada seluruh diplomatnya untuk menolak para pengunsi yang ingin mencari perlindungan di wilayah kekuasaanaya. 

Antonio bahkan secara terang-terangan menolak orang Yahudi, Rusia dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang tidak bisa dengan bebas kembali ke negara asal mereka masuk atau melintasi wilayahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun