Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Face to Face ke Screen to Screen

8 September 2021   16:44 Diperbarui: 8 September 2021   16:51 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. rumahfilsafat.com

Perjumpaan

Dalam satu kesempatan Adam Smith (1723-1790) seorang filsuf berdarah Skotlandia menyebut manusia sebagai homo homini socius, rekan atau sahabat bagi manusia lainnya. 

Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia makhluk yang mutlak membutuhkan orang lain sebagai sahabat atau rekan dalam hidup. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial menjadikan setiap pribadi selalu berada dalam lingkaran relasi dengan orang lain. 

Lazimnya, relasi selalu bermula dari perjumpaan; perjumpaan menjadi titik awal sebuah relasi. Maka yang takut berjumpa sebetulnya lupa asal, karena justru manusia itu hadir karena relasi. Dengan demikian perjumpaan menghasilkan relasi, relasi menelurkan kehidupan. Inilah unsur resiprokal dari esensi manusia sebagai makhluk sosial.

Era baru: Face to Face 'moves to' Screen to Screen

Dalam budaya masyarakat Manggarai, dikenal sebuah istilah 'lonto leok' yang berarti kumpul bersama atau musyawarah. Lonto leok merupakan warisan budaya yang mana para tokoh masyarakat berkumpul bersama dan membangun ruang perjumpaan untuk membahas hal-hal mengenai cita-cita sekaligus mengevaluasi kehidupan. 

Lonto leok menjadi media untuk saling bertukar pikir, bercerita, bersenda gurau, bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena kehidupan. Yang terpenting, relasi yang dibangun dalam tradisi lonto Leok ini, adalah sebuah relasi yang terjadi secara langsung, berhadap muka atau yang saya sebut sebagai perjumpaan face to face. 

Perjumpaan face to face atau tatap langsung merupakan sebuah jenis relasi antar manusia yang paling asali sekaligus primodial karena diturunkan dari nenek moyang kita. Sebuah relasi yang punya kapasitas untuk menelurkan kehidupan. Atau mengutip Adam Smith, ini adalah sifat dasar manusia, selalu ada dalam relasi dengan orang lain. 

Dunia terus berkembang, ada begitu banyak hal juga yang berubah dan berkembang sebagai konsekuensi dari perkembangan. Saat ini manusia berhadapan dengan aneka macam media komunikasi yang memberikan warna yang berbeda dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Dimulai dari surat pena zaman siti nurbaya, telepon kabel, hingga smartphone yang available di manapun dan kapanpun. Itulah media sosial.

Media sosial yang booming dengan penemuannya yang masif seperti Handphone, laptop, tablet disertai dengan aneka macam platform Facebook, YouTube, Twitter, Instagram, Blogger kemudian membuat perjumpaan langsung seolah kehilangan makna. 

Di media sosial semua orang bisa mengakses dan mengupload informasi tanpa harus melangkah keluar dari ruang pribadinya untuk sekadar bersua muka mencari informasi. Perjumpaan face to face telah bergeser menuju perjumpaan dari layar ke layar (screen to screen).

Dapat dibayangkan, media sosial kini merajai generasi dari yang masih cabang bayi sampai tua keladi. Semua terkoneksi satu sama lain. Bahkan untuk Indonesia, dikutip dari Annual Digital Growth, sampai January 2019, kurang lebih 150 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial dari total populasi penduduk sekitar 268.2 juta. Survei ini menujukkan bukti bahwa media sosial sudah akrab dan menjadi kebutuhan baru manusia zaman ini. Ia bukan lagi alat atau sarana, melainkan ruang perjumpaan.

Sejak adanya media sosial perjumpaan bisa dibangun dengan siapa saja. Dulu perjumpaan selalu mengarah pada interaksi langsung antarmuka (face to face) dalam masyarakat yang tinggal dalam tempat yang sama. Kini, perjumpaan bisa dibangun dari layar ke layar (screen to screen) dalam spasi yang terbentang luas tanpa batas dan menjangkau semua.

Akhirnya kita sadar, perjumpaan yang awalnya hanya dibangun dalam ruang dan waktu yang sama, dari muka ke muka (face to face) kini melejit berubah menuju perjumpaan layar ke layar (screen to screen). 

Perjumpaan yang awalnya dibatasi oleh ruang spasial dan kultur tertentu kini bergeser menuju perjumpaan yang menembus tapal batas budaya, wilayah, suku, agama, dan ras. Inilah keunggulan perjumpaan dalam layar; menembus tapal batas dan bahkan tidak mengenal batasan. Media sosial telah melahirkan ruang dan cakupan perjumpaan dengan dunia yang luas dan tidak terikat pada spasi tertentu.

Merajut Harmoni: Screen to Screen dan Face to Face

Muncul dan berkembangnya internet membawa cara komunikasi baru di masyarakat. Media hadir dan merubah paradigma berkomunikasi. Komunikasi tak terbatas jarak, waktu dan ruang. Bisa terjadi dimana dan kapan saja tanpa harus tatap muka. Media sosial meniadakan status sosial yang sering menjadi penghambat dalam komunikasi face to face. 

Dalam artian ini media membuka kesempatan bagi setiap individu yang terlibat (user) di dalamnya dan memiliki komitmen untuk saling merasa melekat dengan yang lain (kohesif) dan saling mendukung (suportif) sebagai sebuah komunitas. Dengan demikian, kita lalu dapat berasumsi bahwa kendati medium atau pun jenis relasi kita berubah, dari face to face menuju screen to screen, namun yang pasti naluri perjumpaannya masih sama, yakni no man is an Island, manusia tidak dapat hidup sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun