Mohon tunggu...
Adi Pujakesuma
Adi Pujakesuma Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

KEBENARAN HANYA MAMPU DILIHAT MELALUI MATA KEMATIAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lantas ke Mana "Kolam Susu dan Tanah Surga" Itu? Miris!

3 April 2018   10:25 Diperbarui: 3 April 2018   10:32 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lantas Kemana "Kolam Susu dan Tanah Surga" Itu?, Miris!

Indonesia secara implisit memang (tidak) bubar, namun secara eksplisit Indonesia diujung tanduk. Pasalnya perilaku-perilaku pemangku kepentingan di negeri seperti maling, merampok harta negara, membegal, menyunat hak masyarakat ekonomi menengah kebawah membuat rakyat Indonesia seakan-akan hidup di dunia maya, tidak lagi mempunyai tempat berpijak di negerinya sendiri.

Kata "tidak bubar" besar kemungkinannya menjadi bubar, apabila sumber daya alam dikorup, dikuras habis-habisan kepada pihak asing tanpa menyisakan sedikitpun buat kemakmuran rakyat.

Tidak berhenti sampai disitu saja, potret penderitaan kaum marjinal kian terjal dipertontonkan dimana-mana, permainan  harga pasaran membuat spekulan menimbun sembako, sehingga kebutuhan kian mahal, biaya hidup melambung tinggi sementara penghasilan menipis, tentu saja krisis mengancam daya beli masyarakat.

Biaya pendidikan swasta semakin membengkak, padahal kebijakan ini bertentangan dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Polemik permainan harga jelas terlihat menjelang bulan suci ramadhan, lebaran dan tahun baru. Tidak ada hubungannya dengan kesucian sebab di dunia perdagangan itu tidak mengenal istilah "suci" asal dapat untung, masa bodoh dengan suci. Toh masih banyak kepala daerah "nakal" yang tertangkap OTT KPK, hidupnya tetap aman-aman saja tuh.

Saking akutnya kondisi dinegerikan ini, mengakibatkan masyarakatnya berbuat nekat. Misalnya, marak pemberitaan terjadi tindak kekerasan di rumah tangga sampai aksi pembubuhan dari kalangan orang terdekat. Ibu atau bapak kandung membunuh anak, anak membunuh orang tua, perampokan merajalela, begal tetap jaya. Terjadi unjuk rasa mengarah anarkistis pun tak terelakkan, ini dampak dari tidak digubrisnya aspirasi masyarakat. Merebak penipuan berkedok travel umroh semua itu akibat kurang pekanya pemerintah baik pusat maupun daerah memperhatikan kesejahteraan rakyat. Banyak faksi terlalu asyik berbisik memetik keuntungan dari para pemegang kebijakan negeri ini.

Apa yang terjadi, sesama rakyat miskin saling membunuh, para pemangku kepentingan senang melihat orang susah, susah melihat orang senang. Perilaku mereka memiriskan, saling sikut, menggunting dalam lipatan, menjilat narkoba demi sebuah "keuntungan sesat." 

Sementara para petingginya asyik memperkaya diri sendiri dan keluarga, tentu saja ini menjadi preseden buruk atas pernyataan #Prabowo, bahwa Indonesia akan bubar di tahun 2030. Konotasi "bubar" menurut daya nalar saya sebagai rakyat, bukan Indonesia-nya yang bubar. Pemerintahan yang culas. Masih mempertahankan praktek-prektek dinasti begitu masif, terstruktur dan sistematis membuat nama besar Indonesia bubar di mata dunia.

Mirisnya, kita sekarang bangga akan kemiskinan untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Semakin tinggi rating penonotonnya, malah bagus, ketimbang acara-acara 'alay' sih. Padahal itu "aib" negara yang seharusnya disembuyikan.  

Perusahaan listrik negara yang katanya "koleps" ternyata setiap bulannya warganya harus membayar iuran tidak sedikit, bisa mencapai Rp. 300.000 sampai Rp. 500.000, belum lagi membayar iuran berlangganan PDAM, tentu nominalnya tidak sedikit. Parahnya, mengalir ataupun tidak, pelanggan air itu harus membayar, jika melihat kasus ini pihak mana yang diuntungkan, produsen atau konsumen?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun