Mohon tunggu...
Sarah Margaret
Sarah Margaret Mohon Tunggu... Lainnya - karyawan Swasta

Menyukai warna Hitam dan Putih, tapi pecinta keberagaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memanusiakan Manusia

30 Maret 2017   21:51 Diperbarui: 31 Maret 2017   07:00 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Wanita berbaju pink, celana pendek dan sendal jepit. berdiri di sebelah meja salah satu cafe mewah di Jakarta"][/caption]

Sehabis meeting sore ini (30/3) saya dapat inspirasi lagi (re:mood) untuk menulis. Tadi sore saya ada agenda meeting terkait kerjaan di salah satu cafe di Grand Indonesia, Jakarta Pusat bersama jajaran direksi dari salah satu perusahaan. Yah bisa dibilang meeting penting yang harusnya saya fokus menyimak. Tapi entah kenapa saya jadi gagal fokus, harusnya saya menyimak klien saya berbicara namun ujung mata saya bergerak mengamati ke arah lain.

Fokus saya malah ke meja lain, ke wanita muda berkaos pink yang mungkin usianya belum genap 20 tahun. Saya udah mulai perhatiin dari dia masuk sampai saya selesai meeting meninggalkan cafe itu. Wanita muda itu masuk berjalan perlahan dibelakang nenek tua berpakaian dress biru bunga-bunga. Lalu mereka berjalan menghampiri meja di sudut cafe yang sudah duluan di dudukin satu kluarga kecil.

Tampilannya kelihatan seperti asisten rumah tangga. Kaos pink, celana pendek rumahan dan sendal jepit. Lalu apa yang salah? Ga ada yang salah sih. Cuma saya pengen sharing aja apa yang saya lihat, siapa tahu bisa jadi pelajaran untuk saya dan yang baca tulisan ini.

Pertama, pakaian yg digunakan wanita tersebut. Menurut saya tidak wajar, sekalipun dia hanya pembantu, atau yang jagain orangtua atau anak anak kamu, harusnya bisa dong diarahkan memakai pakaian layak untuk masuk ke mall sebesar itu atau cafe sekelas middle up. Walau wanita tersebut tidak bisa ungkapin, tapi pasti dari dalam hatinya dia malu berada di cafe yang isinya orang-orang berpakaian rapih dan bagus. Bahkan bisa saja dia merasa disudutkan jika berpapasan dengan mata orang orang yang liatin penampilan dia. Sebenarnya kalau orang lain melihat kondisi seperti ini bukan pembantu kamu yang di judge, tapi kamu sebagai majikannya.

Kedua, sesampai di meja itu, wanita tersebut tidak langsung dikasih bangku tapi dibiarkan berdiri saja dan keluarga tersebut malah asik ngobrol tanpa berusaha mencarikan bangku tambahan. Mungkin karena kapasitas sofa yang mereka dudukin full. Kira-kira 15 menit wanita tersebut berdiri hingga waitress mengantarkan bangku tambahan. Setelah duduk, belanjaan di drop ke pangkuan wanita tersebut.

Ketiga, kalau saya tidak salah ya. Saya melihat anak kecil dari keluarga itu langsung minta pindah tempat duduk saat wanita tersebut duduk disebelah kanan nya. Mungkin karena ogah bersebelahan kali yah. Smoga saja saya salah. Tapi salah atau benar dugaan saya, saya cuma mau saranin, sejak kecil didiklah anak anak untuk menghargai orang lain apapun latar belakangnya. entah itu baby sitter, pembantu, sopir, tukang kebun, orang gila, pengamen, pengemis dan lain lain. Jangan hanya sibuk di kursusin beribu ilmu dan talenta tapi soal attitude minus.

Soal hal ketiga ini saya jadi ingat didikan orangtua saya. Sebenarnya bukan soal rumah mewah/ besar namun dikarenakan kebutuhan. Ketika kedua orangtua saya sibuk bekerja sejak saya kecil maka di rumah ada yang jagain dan bantu bantu atau bisa dibilang asisten rumah tangga yang kami panggil kakak. Ibu saya selalu menyuruh anak-anaknya panggil kakak ke siapapun yang bantu bantu di rumah. Waktu saya sudah beranjak SD ke SMP, di rumah masih ada yang bantu-bantu karena pada saat itu adik saya masih kecil dan perlu dijagain, saya selalu dipaksa mencuci piring sendiri sehabis makan dan jangan asal meletakan pakaian kotor biarpun ada kakak yang bantu bantu. Bahkan untuk membersihkan kamar mandi saja diberikan jadwal gantian ke anak anaknya tiap minggu. Walau dulu saya masih suka menggerutu. Tapi ternyata itu awal dari pembelajaran.

Saya juga melihat menu makanan yang diberikan di rumah oleh ibu saya tidak ada perbedaan tudung saji dengan yang diberikan ke kakak yang bantu bantu di rumah. Jika kami makan ikan, dia pun makan ikan. Jika kami makan ayam dia pun makan ayam. Bahkan orangtua saya jika membeli baju ke anak anaknya, kakak itu pun dibelikan. Jika kami jalan jalan ke mall kakak itu pun ikut. Jika kami makan di restoran kakak itu pun ikut makan bersama. Tidak heran dari dulu banyak yang awet tinggal di rumah untuk bantu bantu.

Bahkan bukan hanya soal asisten rumah tangga, tapi juga soal menghargai orang yang sudah gila. Waktu itu ada orang gila ibu-ibu tua yang beda komplek dengan rumah kami, ketika kami lewat dengan mobil, ibu-ibu itu suka menyanyi nyanyi dan tertawa sendiri di pinggir jalan. Hampir setiap hari. Waktu itu saya ketawa lihat tingkahnya kok bisa begitu dibiarkan tanya saya, Lalu ibu saya bilang ga boleh gitu, nanti antarkan kue di rumah ke dia ya. Ternyata ibu saya juga sering mengantarkan makanan ke ibu tua itu. 

Kembali lagi tentang wanita kaos pink tersebut. Nah Keempat, setelah wanita tersebut duduk sejak  saya meeting sampai saya meninggalkan cafe (40 menit) tidak ada sama sekali menu yang ditawarkan keluarga itu ke wanita tersebut. Alhasil wanita itu hanya bisa memperhatikan meja lain, mengamati orang-orang yang sibuk makan dan tertawa di cafe itu, sambil memangku kantong belanjaan. Oh God? Ada ya orang yang bisa masuk ke cafe kelas middle up tapi jajanin segelas minuman/ sepiring makanan saja untuk asistant tidak mampu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun