Mohon tunggu...
M. Sapwan
M. Sapwan Mohon Tunggu... Musisi - photo traveling di malang

saya dari Lombok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Risalah Kebangsaan Hamzanwadi Institute

18 Agustus 2019   20:22 Diperbarui: 18 Agustus 2019   20:33 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#CatatanDialogKemerdekaan
Ya Fata Sasak Indonesia

Kerapkali tema-tema dengan penyebutan kesukuan, dianggap rasialias dan tidak lagi relevan di era sekarang ini. Apalagi kaum millenial saat ini, tentu tidak tertarik lagi membahas soal-soal seperti ini.

Bagi Penulis, ada dua term yang cukup menghentak, soal narasi Sasak di tingkat nasional. Pertama, pengakuan negara terhadap al-Magfurullah Maulanasyeikh TGKH M Zainuddin Abdul Madjid (ZAM), sebagai Pahlawan Nasional. 

Selama ini, narasi sejarah soal perjuangan kemerdekaan dan kebangsaan di Lombok Sumbawa, tidak pernah dalam transfer pengetahuan generasi.

Sekolah lebih mengajarkan sejarah dan patriotisme mainstream yang disajikan buku-buku kurikulum. Persepsi yang terbentuk, Lombok Sumbawa tidak dalam bagian penting  perjuangan kebangsaan yang perlu ditoleh.

Meletakkan Lombok dalam peta pergulatan perjuangan kemerdekaan, dalam konteks perjuangan fisik, politik, diplomasi, serta dinamika internal masyarakat Lombok belum mendapatkan tempat yang layak dalam peta sejarah Republik Indonesia. 

Penulisan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia ini juga disoal Prof RZ Lereissa, selain dipicu keterbatasan sumber informasi untuk melakukan pendalaman, juga faktor bahasa, hubungan diplomati, dan perspektif sejarah yang digunakan.

"Perspektif memandang sejarah Indonesia yang sangat "RI sentris" yang kemudian hanya berkutat pada sejarah Jawa dan kadang Sumatera, soal ini tidak hanya berlaku untuk ahli sejarah Indonesia, tetapi juga Belanda. Perkembangan sejarah diluar Jawa cenderung diabaikan, bahkan sangat minim. Padahal, sejarah di luar Jawa memiliki dinamikanya sendiri, yang tidak bisa disamakan begitu saja dengan sejarah yang "RI Sentris". Penulisan sejarah semacam ini cenderung mengaburkan, daripada memperjelas banyak peristiwa sejarah dalam periode penting" tulis Lereissa, dalam buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006).

Kedua, sejarah nama suku sasak, baju adat yang dikenakan kepala negara, (terlepas dari debat soal bentuk pakaian adat sasak, dan motivasi Jokowi mengenakannya). 

Yang pokok adalah penegasan dan pengumuman kepala negara, ada namanya suku sasak di Indonesia di forum tertinggi republik. Sebelumnya, tidak pernah terjadi sejak republik ini berdiri.

Dari dua hal ini saja, tentu tidak ada salahnya membincang salah satu bagian dari identitas kita, toh kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan dengan identitas tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun