Mohon tunggu...
Indana
Indana Mohon Tunggu... Psikolog - Karyawan Swasta

Menulis adalah cara terbaik memanfaatkan diri untuk semua

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Magang, Jalur Baru Rekrutmen Karyawan

30 November 2022   21:03 Diperbarui: 30 November 2022   21:07 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh JB Susetiyo

Isu pokoknya adalah link and match. Isu ini sudah mencuat sejak tahun 1990-an, dan terus bergulir sebagai masalah laten di dunia pendidikan kita.

Gambaran sederhananya begini. Banyak materi perkuliahan di perguruan tinggi yang rupanya sudah tidak sejalan lagi dengan kebutuhan industri. Alhasil, ketika mahasiswa lulus dari perguruan tinggi, pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi di industri.

Implikasinya, banyak lulusan perguruan tinggi yang akhirnya hanya menjadi pengangguran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021, jumlah sarjana yang menganggur mencapai 1 juta orang. Masih memakai data BPS, jumlah seluruh pengangguran di Indonesia saat itu mencapai 8,7 juta. Jadi, jumlah sarjana yang menganggur mencapai 11,5% dari seluruh pengangguran.

Lalu, bagaimana dengan lulusan baru yang diterima bekerja? Sebagian besar dari mereka pun ternyata tidak langsung siap kerja. Perusahaan mesti mendidik mereka terlebih dahulu sampai akhirnya siap kerja. Berapa lama? Setiap perusahaan tentu membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Ada yang tiga bulan, enam bulan, atau bahkan setahun. Itu tergantung pada industri dan jenis usahanya.

Jadi, perguruan tinggi ternyata hanya menghasilkan lulusan yang siap untuk dididik kembali oleh perusahaan. Setelah dididik, baru mereka siap untuk bekerja. Proses semacam ini jelas membutuhkan waktu dan energi. Dan, biaya.

Jika saja setiap lulusan perguruan tinggi bisa langsung siap kerja, jelas perusahaan tak perlu lagi menghabiskan waktu, energi dan biaya untuk mendidik mereka. Alhasil, produktivitas perusahaan pun meningkat.

Isu Persaingan dan Teknologi

Begitulah, masalah itu tetap ada selama bertahun-tahun. Dengan semakin sengitnya persaingan bisnis dan berkembangnya teknologi baru, kesenjangan antara mutu lulusan dengan kebutuhan industri pun semakin melebar. Kita tahu, ketatnya persaingan bisnis memaksa perusahaan untuk tak pernah berhenti berhenti inovasi. Sekali berhenti, roda bisnis pun terancam berhenti berputar.

Kita menyaksikan fenomena itu di mana-mana. PT Pos Indonesia sampai sekarang masih terseok-seok, karena lambat mengantisipasi perkembangan teknologi telekomunikasi seluler yang membuat orang tak perlu lagi berkirim surat hanya untuk mengirimkan kabar.

Dulu ponsel Nokia dihantam oleh Blackberry. Kini, Blackberry pun disingkirkan oleh smartphone yang lebih inovatif.

Ketika maskapai penerbangan melakukan inovasi dengan konsep low cost carrier (LCC), banyak perusahaan transportasi darat, termasuk  PT Kereta Api Indonesia, dan laut yang terpukul dan mati suri. Tapi, KAI kemudian membenahi kualitas layanannya dan berinovasi. Di antaranya dengan konsep pemesanan tiket secara online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun