Mohon tunggu...
Santo Masse
Santo Masse Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ngopi sepanjang hari

Gemar Futsal. Personality Waktu dan tempat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tenaga Manusia Hanya Alternatif

1 Oktober 2022   19:16 Diperbarui: 1 Oktober 2022   20:55 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

TENAGA MANUSIA HANYA ALTERNATIF

Semenjak dari sebuah kelahiran seorang manusia, dan kehidupan klasik hingga kontemporer tak ada henti-hentinya mereka bekerja. Ada pekerjaan sesuai dengan kebutuhan, keinginan, pun hanya di jadikan sebuah lakon-lakon kepentingan. Mereka di prioritaskan dalam segala hal demi tujuan tak terhingga besarnya suatu beban yang mereka derita. Tapi itulah manusia dengan kodrat penentuan atas manusia lain.

Parahnya semakin manusia bertenaga semakin pula manusia lain merekrut dan memanfaatkannya. Mutakhir ini perihal pekerjaan dan manusia sudah tidak lagi bisa di maklumi, sebab para kaum-kaum pinggiran atau terbelakang dijadikan seperti budak-budak sebelum pra kemerdekaan. Padahal sudah barang tentu suatu kemerdekaan dapatlah di aktualisasikan penghilangan atas perbudakan. Tanpa harus melihat kasta dan derajat seorang manusia.

Anggapan-anggapan dasar tentang kontemporer memang tenaga manusia tidak terlalu di butuhkan, karena telah di gantikan dengan tenaga lain berupa “tenaga robot”. Tidak ada yang bisa menutup kemungkina ini jika hanya tenaga robot sepenuhnya di gunakan sebagai lakon-lakon setiap pekerjaan. Bagaimana jika itu hanya dalam siklus para orang-orang hebat, berpangkat.? Sangatlah itu akan terdapat relevansinya. Akan tetapi kita tidak bisa memahami ini secara teori saja dan praktis sesuai pada lapangan yang terjadi. Lalu bagaimana dengan mereka diluar sana atas nama “kaum buruh”, secara logika emosional itu adalah sebuah pekerjaan demi kepentingan orang lain, dengan upah yang kiranya setara maka manusialah sebagai alternatif atas tenaganya.

Spesifiknya lagi pada pembuatan robot itu juga menguras tenaga manusia. Selain menyumbangkan tenaga fisik dia pun menyumbangkan gagasan otaknya dengan berfikir keras untuk menciptakan suatu ciptaan. Kadang manusia satu dengan manusia lain terlihat sangat ceria dan humanis, ya karena itulah kejamnya politik.

Manusia tanpa ia sadar sebenarnya mereka di peralat oleh manusia lain. Bahkan kesadaran itu muncul, manusiapun tidak bisa bersuara. Karena sebelumnya haknya telah diganti dengan sebuah pekerjaan dan upah setimpal. Maka tak ada pilihan lain mereka haruslah bungkam.

Bukankah ini telah keterlaluan terhadap martabat manusia.? Yang seharusnya di junjung tinggi dan disamaratakan dengan kodrat manusia lain, lantas kenapa masih saja hidup orang lain begitu tercekam sangat, hingga tak dapat menghela nafas seperti nafas dan paru-paru orang-orang sekitar. Begitu manusia telah mencapai dan sukses dalam pekerjaannya, secara perlahan-lahan mereka akan temarginalkan pun terbuang. Mata yang melihat mereka hanya satu mata, tubuh mereka keras untuk dihadapkan pada obejknya. Seyogianya barang jika sudah tidak lagi digunakan maka akan di buang di tempat sampah, kalaulah sampah itu tidak di bakar maka sudah pasti dikumpulkan pada sampah-sampah lainnya.

Penggunaannya hanya seketika tidak berlangsung lama. Kalaupun ada yang berlangsung lama, dua kemungkinan dia orang hebat berbicara dan terampil dalam bekerja. Sungguh nepotisnme suatu bangsa membiarkan rakyat melarat dalam kesengsaraan, kebodohan, lebih-lebih pembedaan kasta tak semestinya ada. Berbeda pula ketika melamar suatu pekerjaan, nepotisme adalah keberuntungan yang mengalahkan kehendak. Bagaimana tidak mungkin kerabat, saudara, atau apapun memiliki hubungan erat mereka akan direkrut dalam pekerjaan dengan leluasa tanpa harus mengikuti tes-tes. Sedangkan mereka orang-orang biasa dengan tidak terikat relasi akan dipersulit, kadang pula tak dihiraukan sampai berbalik-balik menanyai hasil dari tempat itu.

Sudah banyak manusia diperlakukan tidak sewajarnya, memandang fisik dan terampil menghitamkan hati dan pikirannya. Apa yang menjadi latar belakang sehingga hadir pengejewantahan seperti ini. Kita semua tau manusia pada dasarnya sempurna, untuk masalah reputasi dan mertabat juga demikian. Kenapa harus dikucilkan seperti hewan piaraan, wajib mematuhi majikannya. Kita bukanlah hewan seperti itu, kita adalah hewan dengan kriteria akan, pikiran, juga perasaan.

Tubuh juga merupakan salah satu hal yang berpengaruh dalam perbudakan. Tubuh kekar dirasanya pas untuk pekerjaan yang ini, sebanding berat dan ringannya pula. Atas prioritas sebuah kepentingan, tidak terkecuali tenaga manusia jadi seutama-utamanya untuk alternatif. Lagi-lagi kesengsaraan dan kesedihan tiada tara dialami oleh seseorang amat sadis. Tanpa terfikir sejenak atas alternatif ini banyak merugikan kehidupan manusia, jelasnya penyakit yang akan timbul pada fisik. Kekakuannya pertumbuhan membuat mereka sulit beradaptasi esok nanti, semua keburukan mereka suap tanpa perlu dicicipi. Perjalanan kehidupan manusia akankah terus di injak dan dikaburkan.?

Ini terlihat krusial jika seterusnya begini tanpa ada emansipasi. Anak-anak terlibat dalam masalah ini, bukan karena sebuah pilihan tetapi waktu dan tempat menariknya. Bayangkan jika orang tua saja kita telah membahas betapa banyak nanti penderiataan pada fisiknya yang tua renta, kemudian di paksa untuk perihal itu maka akan dua kali lipat derita yang akan ia rasa. Lalu bagaimana dengan seorang anak menginjaki status dewasa, bukan saja sebatas fisik yang akan terhenti tapi akalpun juga mengalami kemunduran secara drastis.

Bisa jadi sehatnya terlihat di luar, sedang didalam tubuh mereka ada beribu-ribu penyakit. Setiap harinya mereka bertengkar melawan penyakit itu demi tuntutan perintah dan warna kehidupan. Seharusnya kita telah menanam rasa iba dan simpati setinggi-tingginya. Anak berusia begitu juga mempunyai rasa malu yang hebat, kenapa.? Seumuran mereka gagah, berpakaian rapi, menuju sekolah masing-masing. Tampak diwajah mereka ada harapan besar penuh ceria, sebab cita-cita mereka bawa setiap perjalanan. Entah itu kemanapun.

Berbeda dengan anak dan orang tua menelan rasa asam garam, dari kecil hingga dewasa masih sama rasa asam garam. Pada anak itu masih kecil sudah menumpahkan asam garam pula. Demikianlah ini bukan semata-mata kesenjangan sosial, tapi tidak ada pemerataan yang berlaku. Sehingganya tenaga mereka dijadikan alternatif untuk sebuah tujuan.

Absurditasnya lagi penyuruh anak kecil dan orang tua dewasa itu tidak mementingkan kesehatan mereka. Kejamnya ketika mereka sakit, mereka di suruh istirahat dan diberi sedikit upah untuk kebutuhan hidup. Setalah itu mereka para penyuruh hilang tidak menanyai kabar mereka yang terbarng sakit ditempat tidur. Sangkin keterlaluannya pula ketika mereka sembuh dari sakitnya mereka kembali, tapi sudah tidak menerima lowongan. Alasannya “kalian telah digantingan oleh karyawan baru”. Demi progresif ini kami harus mencari pengganti kalian supaya perusahaan ini tidak bangkrut.

Visualitas adalah bukti nyata, sekaligus pengejewantahan tentang perihal positif dan negatif. Disinilah peran visual kita dan analisis bagi manusia yang tidak mau terjerumus kepada ke egoisan atas personality orang lain. Bukan lagi fungsi metafisika dalam ranah ini, melainkan visul kita secara tepat. Melihat bagaimana tenaga manusia dijadikan alternatif, tanpa adanya investasi ruang untuk mereka sebagai pengorbanan jiwa dan raga. Oleh sebab itu mereka tidak akan berkembang, selepas tersingkirnya akan mengambang dalam pengangguran yang kiranya cukup lama. Jika mereka menemukan tempat lain, tidak ada beda pula hanyalah sebagai alternatif untuk tenaganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun